Tulisan kedip

Kamis, 13 Agustus 2009

Ibadah dan Kedisiplinan

Setiap Rabu, 10-12 siang, saya mengajar pada International Brotherhood of Teamsters (Retiree Division) tentang Middle East: an Overview of Traditions. Awalnya saya menyangka bahwa murid-murid senior tersebut, berumur kira-kira 65 - 80-an tahun, ingin mengetahui adat atau tradisi orang-orang di Timur Tengah. Ternyata ketika saya memulai diskusi, semuanya ingin belajar Islam yang sesungguhnya. Bahkan seorang yahudi mengatakan: "I just wanted to share with you, Muslims, that we need to come back to our history. Muslims are nice guys, kind people, they protected us in Spain, and during the hardship we fled to Turkey and some North African countries the Muslim rulers of the Ottoman Caliphs received us will full protection".



Ketika seorang mempertanyakan kebijakan sebagian penguasa Muslim yang dianggapnya memarjinalkan minoritas (Kristen khususnya) di beberapa negara Islam, justeru yang lain mengingatkan "inquisasi" (pembunuhan besar-besaran) yang dilakukan oleh pengasa Kristen di Eropan dan Spanyol khususnya ketika itu. Ketika seorang mempertanyakan isu poligami dalam Islam, yang lain nyeletuk: "Don’t you realize what our modern society does it today?" Bahkan mereka dengan sigap mengatakan bahwa praktek poligami memiliki justifkasi pada semua agama. Tinggal bagaimana masing-masing pemeluk agama memahaminya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan mengulas kembali berbagai dialog atau diskusi yang terjadi di dalam kelas. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah, betapa murid-murid saya yang berumur rata-rata di atas "puncak" semangat, masih bersemangat dan bahkan sangat "prepared" untuk melakukan dialog di kelas. Dengan kata lain, seniorotas umur mereka seharusnya menjadikan mereka tak ambil pusing, tak ingin tahu, apalagi berhubungan dengan masalah agama, yang nota benenya dipropagandakan sebagai agama yang "lain".

Tapi yang saya dapati justeru, umur mereka bukanlah penghalang untuk datang belajar, untuk mengetahui dari sumber yang benar. Saya bisa merasakan "kedisiplinan" dan "kesungguhan" yang tinggi. Dan lebih penting, sikap "appreciative" dan penghargaan terhadap sesuatu, termasuk menghargai waktu adalah sesuatu yang bisa ditauladani.

Sesungguhnya kalau kita jeli, apa lagi sih yang kurang dari agama kita? Semua sisi ajaran agama kita, secara konseptual, bermula dari konsep keimanan, konsep peribadatan, hingga kepada konsep-konsep mu’amalat, bertujuan untuk membentuk kepribadian atau corak karakter seorang Muslim. "Shibghah shakhshiyah" atau bentuk kepribadian agung ini memang menjadi tujuan mendasar agama kita, sehingga Rasulullah SAW menegaskan: "Innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaaq" (Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Artinya, kalaulah Islam itu sebuah tanaman, maka harapan tertinggi dari tanaman tersebut adalah buahnya.

Sayang sekali bahwa Islam yang seharusnya mewarnai karakter dan tingkah laku kita, terkadang hanya menjadi buah bibir dan goresan pena. Tidak jarang kita dengarkan seorang penceramah atau khatib dengan sangat menggugah, menyatakan ketinggian budi luhur yang diajarkan Islam. Namun ketika kita sejenak menoleh kepada realita kehidupan umat di lapangan, ternyata "ketinggian" itu masih bersifat "baying-bayang", yang sesungguhnya justeru karakter asli umat ini menjadi gunung tinggi yang menghalangi sinar mentari Islam. perilaku sebagian umat menjadi penghalang "cahaya" Islam untuk sampai kepada umat manusia. (Al Islaam mahjuub bil Muslimiin).

Kita tentu tidak perlu silau dengan ketinggian kedisiplinan orang barat, atau ketinggian motivasi baca yang dimiliki oleh Jepang, atau kekukuhan usahanya orang China, dll. Namun kita seharusnya mempertanyakan, dimana dampak-dampak sosial dan ibadah-ibadah yang telah kita lakukan? Shalat yang diwajibkan dengan ketentuan waktu yang jelas (kitaaban mawquuta), seharusnya mengajarkan kedisiplinan dalam melakukan segala sesuatu pada frame waktu yang jelas. Bukankah waktu dalam Islam tidak sekedar uang (time is not only money), tapi waktu adalah hidup itu sendiri. Setiap detik, menit, jam maupun hari-hari yang berlalu, bukankah itu menunjukkan jata hidup juga sedang melalui kita?

Waktu itu ibarat pedang, kata Rasulullah SAW. Jika kamu tidak memotongnya, maka waktulah yang akan memotongmu (hadits). Bahkan ketika Allah menggambarkan "untung-ruginya", berhasil-gagalnya seorang insan dalam hidupnya, Allah memulai dengan penyebutan sepotong masa dalam bentuk sumpah. Di hari Akhirat nanti, anak cucu Adam tidak akan tergerak kakinya dari Padang Mahsyar, kecuali setelah ditanya 4 hal, salah satunya tentang umurnya, dan lebih khusus lagi adalah masa mudanya. Waktu adalah "amanah", maka sungguh tidak menggunakannya merupakan pengkhianatan, apalagi kalau terpakai untuk menentang Dia Yang memberikan amanah. Sungguh sebuah pengkhianatan yang tak tanggung-tanggung.

Ibadah puasa dengan waktu imsak dan ifthar yang jelas, ibadah zakat dengan konsep "haul" yang jelas, demikian juga ibadah haji pada "asyhur ma’luumat", semua ini mengajarkan urgensi mendisiplinkan diri untuk menghargai waktu. Sesungguhnya, sekali lagi, menghargai waktu adalah menghargai hidup kita sendiri. Menyia-nyiakannya adalah menyia-nyiakan hidup kita sendiri.

Akhirnya, untuk menghindarkan diri dari "kesilauan" mata terhadap kemajuan orang lain, umat Islam harus kembali memantapkan keislamannya. Memantapkan keislaman tidak berarti selama ini lemah iman atau keyakinan, namun iman dan keyakinan umat harus mampu ditranform ke dalam sebuah realita kehidupan. Iman yang terwujud nyata dalam kehidupan, menjadi sebuah "civilisasi" atau kebudayaan, yang insya Allah dapat menjadi alternative civilization for humanity. Jika tidak, maka propaganda dialogue among civilizations hanya menjadi wacana, karena kenyataanya kita hanya mengakui punya civilisasi namun masih dalam bentuk konsepsi. Mungkin, minimal sebagai justifikasi pelarian, kita bangga dengan masa lalu kita. Tapi apalah makna masa lalu jika itu hanya menjadi kenangan manis.

Laesal fataa man yaquulu abii, walakinnal fataa man yaquulu haa ana dzaa. Demikian pepatah arab, yang kira-kira berarti: "Bukanlah pemuda yang bangga dengan bapaknya (masa lalu), tapi seorang pemuda adalah yang mampu menunjukkan dirinya sendiri". Kapankah umat ini mampu menjadi pemuda yang gagah berani, tampil di depan dengan kreasi-kreasi alternatifnya? Sungguh dunia kita membutuhkan pemuda itu. Sungguh dunia kita menghampiri masa jompo, dan kini diperlukan pemuda itu untuk bangkit ke depan untuk masa depan yang penuh harapan. Semoga!

ditulis oleh Syamsi Ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar