Tulisan kedip

Kamis, 13 Agustus 2009

Mata Kita juga Punya Hak

Kita masih manusia. Dengan segala keterbatasannya. Saat sholat malam menjadi tidak nyaman dengan rasa kantuk yang menyerang, kita pun harus memberikan hak mata kita. Zuhud itu bagus, tetapi badan kita punya hak yang harus dipenuhi. Rajin ibadah merupakan prestasi, tetapi mata ini pada saatnya meminta jatah istirahatnya.

Jika mengantuk, sholat malam dan aktifitas do’a serta tilawah harus dihentikan. Berbaringlah atau minimal pejamkan mata untuk sesaat tubuh kita mengambil jatahnya. Jangan dipaksakan, Pemaksaan tidak akan mendatangkan kebaikan. Karena kita akhirnya ter-kantuk-kantuk dalam sholat, do’a dan tilawah malam. Tidak ada kekhusukan. Munajat kita hanya menjadi beban.



Rasulullah telah mengajarkan kepada kita, "Jika salah seorang di antara kalian mengantuk dalam sholatnya, maka hendaklah dihentikan dan tidur hingga hilang rasa kantuknya. Karena jika dia teruskan sholat dalam keadaan mengantuk bisa jadi niat untuk meminta ampun berubah menjadi mencela dirinya sendiri.” (HR. Nasai, Abu Dawud dan Ahmad).

Lidah kita bisa terlipat. Ucapan permohonan ampun bisa berubah meminta kecelakaan. Hanya karena kita mengantuk. Tidak sadar apa yang terucap. Tidak terkontrol apa yang dibaca. Membaca ayat bisa lompat dari satu ayat ke ayat lainnya. Bisa menjadi tidak yakin sudah berapa kali sujud yang dilakukan, Akhirnya benar-benar kantuk hanya membuat ibadah kita tidak nyaman. Istirahat sudah saatnya.

“Sesungguhnya fisikmu mempunyai hak yang harus dipenuhi,” sabda Nabi suatu saat. Rasul sendiri, jika suatu malam mengantuk sekali atau terasa sangat letih karena kesibukan di siang hari, maka beliau tidak sholat malam. Dalam beberapa riwayat seperti yang disampaikan Imam Ahmad, Nasai dan lainnya, Nabi sendiri jika suatu malam terasa sakit atau mengantuk, beliau tidak sholat malam dan menggantinya dengan sholat dua belas rakaat di siang hari.

Sebagai manusia terbaik, Rasulullah masih memberikan ruang untuk menampung keterbatasan manusia. Karena hakekatnya Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia. Keterbatasan fisik kita, menjadi bagian tersendiri yang selalu menjadi bahan pertimbangan besar dalam Islam.

Melampaui batas dengan niat memperbanyak pahala juga tidak diperkenankan. Ketika tiga orang merasa mereka begitu kecil di hadapan Rasulullah. Di mana Rasulullah yang telah diampuni dosanya, sangat rajin beribadah. Bagaimana dengan mereka yang tidak mendapatkan jaminan ampunan dosa. Pertanyaan itulah yang mengusik mereka bertiga. Sehingga tersimpulkan bahwa mereka harus beribadah melebihi ibadahnya Rasulullah.

Masing-masing dari mereka bersumpah. Yang satu bersumpah untuk berpuasa terus dan tidak berbuka. Yang lain lagi bersumpah untuk sholat sepanjang malam dan tidak akan tidur sama sekali. Sementara yang ketiga bersumpah untuk tidak menikah.

Sumpah mereka sampai ke telinga Rasulullah. Maka Nabi pun melarang mereka dan berkata dengan cukup tegas, "Demi Allah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan takwa di antara kalian. Tetapi aku puasa dan berbuka, sholat dan tidur dan menikah dengan perempuan. Barangsiapa yang membenci sunahku maka dia bukan dari golongan-ku.” (HR, Bhikhari),

Memang ibadah seperti yang direncanakan tiga orang itu tidak pernah ada contohnya, memaksakan fisik untuk melakukan di luar batas kekuatan juga merupakan kesalahan tersendiri.

Memaksa mata dan fisik akan membuat kelelahan yang banyak mengakibatkan semua kebaikan yang diniatkan sulit sampai. Kelelahan harus diatasi dengan istirahat. Diam sejenak agar fisik segar kembali, agar sehat kembali, agar kuat beribadah kembali, agar mata yang terjaga membuat hati juga terjaga.

Selain itu, kelelahan bisa membuat fisik berontak dan hati protes terhadap aktifitas malam yang positif. Akhirnya, tekad hati untuk memacu fisik dalam ibadah mulai memudar. Rasa malas mulai merambat di latar hati kita. Jika terus dipaksakan bisa jadi kebiasaan baik itu hilang tanpa bekas. Tidak ada lagi sholat malam, terasa berat lidah untuk melantunkan Al Qur’an, tidak ada lagi air mata do’a di hadapan keagungan-Nya.

Untuk itulah Nabi memerintahkan para shahabat untuk memotong tali yang diikat di dua tiang masjid Nabawi, Setalah beliau bertanya, “Tali siapa ini?” Para sahabat berkata, “Milik Zainab, jika dia sholat malam dan sudah lelah dia berpegangan di tali itu.” Nabi memerintahkan untuk melepasnya, "Lepaskan, sholatlah ketika kalian segar, jika kalah oleh rasa kantuk tidurlah.” (HR. Ahmad dan Nasai).

Kehebatan orang-orang sholeh dulu dalam mengisi detik-detik mahal di malam hari, juga masih dalam batas kemanusiaan. Imam Nawawi, ulama besar yang memiliki karya-karya besar dalam keilmuwan Islam, suatu hari ditanya oleh muridnya tentang waktu tidurnya. Tentu pertanyaan ini berawal dari ibadah malam Imam Nawawi yang rasanya tidak menyediakan kesempatan mata untuk terpejam.

"Jika aku mengantuk aku hentikan sholat-ku dan aku bersandar di buku-bukuku sejenak. Jika telah segar kembali aku lanjutkan sholat-ku,” jelas beliau.

Mereka orang-orang yang kehidupannya bagai menara gading yang sulit dijangkau oleh akal sehat kita hari ini, pun masih manusia. Masih ada batas manusiawi yang harus menghentikan aktifitas ibadah mereka. Tentu agar kembali bisa beribadah dan berkarya untuk Islam. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar