Tulisan kedip

Senin, 26 September 2011

BAB I
ILMU HADIS


A.   Ilmu Hadis                
1.    Pengertian Ilmu Hadis
Kata hadis berasal dari bahasa arab, a) al Hadis, hudasa b) khabar (berita, riwayat) jamaknya ahadis, hidsan dan hudsan. Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.

Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis adalah :
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى


“Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara”

Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب

“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”

Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.

Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية

“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi.

Menurut jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها

“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”

Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.

Di samping istilah hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukaan pengertiannya agar lebih jelas.

Sunnah dalam kitab Ushul Al hadis adalah sebagai berikut :
مااثرعن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها

“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perkjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya”

Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadis dan sunnah, yang sama–sama bersandar pada Nabi saw, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya.
Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama–sama bersumber pada Nabi Muhammad saw.

Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya

Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya. 

Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.

Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.
Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.

Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.

2.   Istilah-istilah dalam Ilmu Hadis         

Matan              : materi hadis yang berakhir dengan sanad.
Sanad              : para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Rawi                : orang yang meriwayatkan hadis
Isnad               : rentetan sanad hingga sampai ke matan
Sebagai contoh ialah “Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing.” Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad         : hadis yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadis hadis setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid           : orang yang meriwayatkan hadis berikut isnadnya.
Al Muhaddis  :  orang yang ahli dalam bidang hadis dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh     : orang yang hafal seratus ribu buah hadis baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah        : orang yang hafal tiga ratus ribu hadis.
Al-Haakim    : orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

3.   Unsur-unsur Ilmu Hadis
Dalam suatu hadis harus memenuhi 3 unsur. Di mana unsur tersebut dapat mempengaruhi tingkatan hadis, apakah hadis tersebut asli atau tidak. Unsur–unsur tersebut yaitu :
a.     Matan, yakni sabda Nabi atau isi dari hadith tersebut. Matan ini adalah inti dari apa yang dimaksud oleh hadis, misalnya:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الشيخان عن ابى موسى
b.    Sanad, yaitu sandaran atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadith. Sanad inilah orang yang mengkabarkan hadis dari Rasulullah saw kepada orang yang berikutnya sampai kepada orang yang menulis atau mengeluarkan hadis, misalnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut :
حدثناابن سلام قال اخبرنامحمدبن فضيل قال حدثنا يحي بن سعيد عن ابى سلمة عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م : من صام رمضان ايمانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah. Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan kesohihan hadis.

c.     Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.
Antara rawi dan sanad orang-orangnya sama, ya itu–itu saja. Misalnya pada contoh sanad, yaitu sanad terakhir Abu Hurairah adalah perawi hadis yang pertama, begitu seterusnya hingga kepada Imam Bukhari. Sedangkan Imam Bukhari sendiri adalah perawi hadis yang terakhir.
Untuk menyeleksi hadis yang sekian banyaknya dan pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup tidak banyak sahabat yang menulis hadis, dan penyampaian hadis Nabi SAW masih terbatas dari mulut ke mulut berdasarkan hafalan dan ingatan saja sampai pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis tahun 99–101 H. Maka untuk menjaga keaslihan hadis diperlukan Perawi–Perawi hadis yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1)   Perawi itu harus orang yang adil, arti adil dalam periwayatan hadis yaitu : muslim, baligh, berakal, tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.
2)   Perawi itu harus seorang yang dabith
Dhabith ini mempunyai dua pengertian yaitu :
·      Dabith dalam arti bahwa perawi hadis harus kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan orang yang pelupa
·      Dabith dalam arti bahwa perawi hadis itu dapat menjaga atau memelihara kitab hadis yang diterima dari gurunya sebaik–baiknya, sehingga tidak mungkin ada orang mengadakan perubahan didalamnya.

Adapun para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis yaitu :
a.     Abu Hurairah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah hadis
b.    Abdullah bin Umar, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2630 buah hadis
c.     Anas bin Malik, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2286 buah hadis
d.    Aisyah Ummul Mukminin, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2210 buah hadis
e.     Abdullah bin Abbas, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1660 buah hadis
f.      Jabir bin Abdullah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1540 buah hadis
g.     Abu Sa’id Al Khudri, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis

Selain tujuh sahabat tersebut masih banyak yang meriwayatkan hadis tetapi tidak ada yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu hadis. Para sahabat Nabi saw ini menjadi perawi hadis pertama dan sanad terakhir dan mereka inilah yang pada umumnya disebut sanad dalam hadis. Kemudian yang disebut perawi hadis terakhir adalah mereka yang membukukan hadis dalam kitab-kitabnya seperti, Muwatha’nya Imam Malik, Al Kutub Al Sittah, setelah itu sangat sulit untuk menemukan orang yang dapat dikatagorikan sebagai perawi hadis, atau mungkin tidak ada perawi yang muktabar.

B.   Pembagian Hadis dan Faedahnya             
1.   Macam-macam Ilmu Hadis
Secara garis besa ilmu hadis dibagi menjadi dua : Hadis Riwayah dan Hadis Dirayah (mushthalahul hadis)
a.   Hadis Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.
·      Perkataan Nabi saw, misalnya :
عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لايفرك مؤمن مؤمنة انكره منها خلقا رضى منها اخر اوقال غيره

“Dari Abu Hurairah ra. Katanya Rasulullah saw bersabda : “Jangan memarahi wanita mu’minah, jika kamu benci akan perangainya, niscaya ada pula yang menyenangkan daripadanya.

·      Perbuatan Nabi saw, misalnya :
عن الفضل ان رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يزل يلبى حتى بلغ الجمرة

“Dari Fadhal ra katanya. “Rasulullah saw senantiasa membaca talbiyah sehingga tiba waktu melontar jumrah “ ( HR. Muslim )

·      Ketetapan Nabi Saw misalnya
كنا نصلى ركعتين بعد غروب الشمس وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا (رواه مسلم

“Adalah kami (para sahabat) melakukan sholat dua rakaat sesudah terbenamnya matahari (sebelum sholat maghrib), Rasulullah saw, melihat apa yang kami lakukan dan beliau diam tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami (HR. Muslim)

Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadis. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadis, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihwal dan sifat sifat perawinya.

b.    Hadis Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadis dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadis. Kitab yang dianggap paling “mapan” menerangkan ilmu Mushthalahul hadis adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).

2.   Faedah Mempelajari Ilmu Hadis
Muhammad Alawi Al Maliki menjelaskan tentang faedah Ilmu Hadis sebagai berikut:
a.     Faedah Ilmu Hadis Riwayah adalah memperhatikan sunnah Nabi, dengan cara menjaganya, mengetahuinya, dan menyebarluaskannya di kalangan-kalangan orang-orang Islam. Dalam hal ini terpeliharanya kelestarian sunnah Nabi dan tidaklah mungkin terjadi kepunahannya.
b.    Faedah mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk menetapkan ke sahihan suatu hadis dan untuk menetapkan apakah hadis tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.

3.   Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam
Hadis atau as-sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq. Secara tersirat, al-Qur’an-pun mendukung ide tersebut, sesuai firman Allah SWT:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.,” (QS. An Nahl : 44)

Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur’an. Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafsili (rinci) al-Qur’an masih perlu dijelaskan dengan Hadis. Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, Hadis secara mandiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Qur’an.

Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadis :
a.     Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadis tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
b.    Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadis dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
c.     Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadis kebanyakan tidak mutawatir.
d.    Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadis adalah penjelas dari yang pokok atau hadis adalah cabang dari yang pokok. Bila hadis yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka ditolak.
e.     Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadis Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang menyebutkan hadisnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadis tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
f.      Dalam hadis sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadis Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadis dan “ajtahidu ro’yii” – ijtihad dengan akal.

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.

4.   Fungsi Hadis terhadap Al Qur’an        
Setelah Al qur’an maka sumber hukum Islam adalah Al Hadis. Karena itu Al Hadis mempunyai fungsi, antara lain :
a.     Menguatkan hukum–hukum yang terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah:185. Ayat tersebut dikuatkan dengan hadis Nabi:
حديث عبدالله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله ص م قال: لاتصوموا حتى تروا الهلال ولاتفطروا حتى تروه فان غم عليكم فاقدروله (اخرجه البخارى

“dari Abdullah Inb Umar Ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda Janganlah berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan sabit) dan jangan berhari raya sehingga melihat hilal, jika tertutup awan maka perkirakanlah: (HR Al Bukhari)
(hadis lain diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, hadis no 6331 dari Ibnu Umar; Sunan Al Nasai, hadis no 1180, dari Abu Hurairah; Sunan Ibn Majjah, hadis no 1600-1604 dari Abu Hurairah, bab Maja’a fi Shumu Liru’yatih; hadis yang selaras terdapat pada Bulughul Maram pada Kitabus Shiyam hadith no 671 yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Al Muslim).

Hadis tersebut menguatkan Al Qur’an tentang penentuan awal Ramadan dan Awal shawwal, dengan demikian maka hukum penentuan awal Ramadan lewat melihat bulan menjadi kuat, tetapi juga memberi jalan keluar jika tidak dapat melihat bulan karena sesuatu hal, misalnya terhalang mendung atau yang lain, dapat juga menggunakan perhitungan seperti pada akhir hadis tersebut.
b.    Menjelaskan hukum–hukum yang ada dalam Al qur’an.
Ayat Al qur’an ada yang hanya menerangkan sesuatu secara global atau garis besarnya, oleh sebab itu perlu di perjelas melalui hadis seperti Q/S/Al Baqarah: 2 tentang shalat. Ayat tentang sholat itu garis besar, tentang tata cara pelaksanaannya di terangkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadis :
حديث ابي هريرة قال كان رسول الله ص م اذا قام الى الصلاة يكبر حين يقوم ثم يكبر حين يركع ثم يقال سمع الله لمن حمده حين يرفع صلبه من الركوع ثم يقول وهو قائم ربنا ولك الحمد ثم يكبر حين يهوى ثم يكبر حين يرفع راسه ثم يكبر حين يسجد ثم يكبر حين يرفع راسه ثم يفعل ذالك فى الصلاة كلها حتى يقضيها ويكبر حين يقوم من الثنتين بعد الجلوس (اخرجه البخرى

“Hadis Abu Huraiorah RA berkata, Nabi SAW jika berdiri untuk sholat, maka takbir ketika berdiri, dan takbir ketika ruku’, dan membaca sami’ Allahu liman hamidah ketika mengangkat punggungnya dari ruku’, kemudian ketika berdiri membaca Rabbana wa laka hamdu. Kemudian takbir ketika akan sujud, kemudian takbir ketika bangun dari sujud, kemudian takbir ketika sujud kedua kali, kemudian takbir ketika bangun dari sujud, dan begitu beliau berbuat pada tiap rakaat sampai selesai, dan juga takbir ketika bangun dari rakaat kedua sesudah tasyahud”. (Riwayat al Bukhori)
c.     Menambah hukum yang belum ada dalam Al qur’an seperti, hukum memakai cincin emas dan pakaian sutra bagi lelaki ;

قال النبى ص م: هدان حرام على رجال آمتى وحلال لنسائهم (الحديث
Artinya : Nabi SAW Bersabda ; Dua Perkara ini (memakai cincin emas an pakaian sutra) haram bagi umatku yang laki–laki dan halal bagi wanita (Al hadith)

Ada juga yang berpendapat bahwa fungsi Hadis terhadap Al Qur’an adalah sebagai berikut:
a.     Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
b.    Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
c.     Merinci hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
d.    Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
e.     Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
f.      Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.

C.   Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Hadis      
1.   Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis Pra-Kodifikasi
a.   Hadis pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1)  Masa Penyebaran Hadis
Nabi saw. sebagai Rasul, sangat disegani dan dita’ati oleh para sahabat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti kepada Allah swt. Oleh karena itu para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala yang diajarkan Nabi saw. baik yang berupa wahyu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, sehingga ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut benar-benar mempengaruhi jiwanya dan membentuk pribadi para sahabat sebagai orang yang benar-benar muslim. Mereka dapat menghafal dengan baik ajaran-ajaran Rasul karena di samping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memahami sesuatu.

Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan Nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam hal ibadah maupun dalam kehidupan duaniawi, maka mereka bisa langsung bertanya pada Nabi.

Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala permasalahan mereka. Adakalnya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum-hukum syari’at agama. Sepulang mereka ke kampungnya mereka mengajarkannya kepada kawan-kawan mereka. Sebagian sahabat sengaja pergi dari tempat-tempat yang jauh mendatangi Nabi hanya untuk menanyakan sesuatu hukum syar’i.

Apabila Nabi tidak dapat berkata terus terang dalam memberikan suatu jawaban, Nabi meminta istrinya menerangkan persoalan itu dengan sejelas-jelasnya.
Kerapkali sahabat bertanya kepada para istri Nabi saw. tentang suatu hukum yang berkaitan erat antara seseorang dengan istrinya karena para istri Rasul itu mengetahui, bagaimana Nabi memperlakukan mereka.

Para sahabat menerima hadis (syari’ah) dari Rasul saw. adakalanya secara langsung, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu persoalan yang diajukan seseorang lalu Nabi saw. menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, misalnya pada waktu memberi ceramah, pengajian, dan khutbah, atau secara tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi jika mereka sendiri malu untuk bertanya. Ada juga yang melalui utusan-utusan, baik dari utusan Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi saw.

Para sahabat tidak sederajat atau lebih berkurang dalam menerima dan mengetahui hadis Nabi saw. karena adanya faktor tempat tinggal, pekerjaan, usia dan hal-hal lainnya. Adanya sahabat yang banyak mengetahui hadis karena lama berjumpa dan berdialog dengan Nabi saw. dan ada yang sedikit saja menerima hadis.

Para sahabat yang banyak menerima hadis dari Nabi saw. antara lain :
·      Yang mula-mula masuk Islam, seperti : Abu Bakr, Umar, Ustman, Ali, dan Abdullah Ibn Mas’ud
·      Yang selalu menyertai Nabi saw. dan berusaha keras menghafalnya, seperti Abu Hurairah, yang mencatatnya, seperti Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.
·      Yang lama hidupnya sesudah Nabi saw, dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn Abbas.
·      Yang erat hubungannya dengan Nabi saw, yaitu ummu al-Mu’minin, seperti: Aisyah dan Ummu Salamah.

Masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur’an dari Allah swt. Dan di-wurud-kannya Hadis oleh Nabi saw. Hadis tersebar bersama Al-Qur’an al-Karim sejak masa awal dakwah Islam. Dalam semua tahap dakwah, Rasul saw menyampaikan Islam kepada masyarakat, memberikan putusan, memberikan ceramah, memberikan bisikan baik di saat damai maupun di saat perang, di saat sulit dan mudah, dan mengajari mereka sehingga mereka bisa menghafal berbagai hukum dan menerapkannya.

Selain peran sahabat, para kabilah dalam menyampaikan hadis yang mereka peroleh dari Nabi kepada sesama sahabat dan kawan-kawan mereka,serta andil ummu al-mu’minin dalam menyampaikan hadis kepada masyarakat umum, para pedagang dari Kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadis. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi saw. kepada orang-orang yang mereka temui.

Pada saat itu penyebaran hadis sangat cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Nabi bersabda :

أخبرنا علي بن بشرى أخبرنا ابن مندة حدثنا علي بن يعقوب بن إبراهيم حدثنا أبو عبد الملك أحمد بن إبراهيم البسري حدثنا محمد بن عائذ حدثنا الوليد بن مسلم حدثنا خليد بن دعلج وسعيد بن بشير عن قتادة عن الحسن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله بلغوا عني ولو آية ومن بلغته آية من كتاب الله فقد بلغه أمر الله كله أخذه أو تركه.

“Mengkhabarkan kepada kami Ali ibn Basyary, mengkhabarkan kepada kami Ali ibn Ya’kub ibn Ibrahim, menceritakan kepada kami Abu Abdul Malik Ahmad ibn Ibrahim al-Bisri, menceritakan kepada kami Muhammad ibn ‘Aidz, menceritakan kepada kami al-Walid ibn Muslim, menceritakan kepada kami Khalid ibn Da’laj dan Sa’id ibn Basyir, dari Qatadah dari Hasan dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah saw. bersabda :

Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat. Dan barang siapa yang menyampaikan satu ayat dari kitab al-Qur’an maka ia sungguh telah menyampaikan perintah Allah, dia mengambilnya atau meninggalkannya.“
Nabi saw. juga bersabda dalam riwayat berikut ini :

حدثنا عبد الله بن عبد الوهاب قال حدثنا حماد عن أيوب عن محمد عن ابن أبي بكرة عن أبي بكرة : ذكر النبي صلى الله عليه و سلم قال ( فإن دماءكم وأموالكم - قال محمد وأحسبه قال - وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا ألا ليبلغ الشاهد منكم الغائب ) . وكان محمد يقول صدق رسول اللهص كان ذلك ( ألا هل بلغت ) . مرتين (رواه البخارى

Hadis ini berkenaan dengan ceramah Nabi saw pada waktu Nabi saw melaksanakan haji wada’. ceramah yang lengkap dan padat ini merupakan faktor penting bagi penyebaran hadis di kalangan kabilah-kabilah Arabia. Salah satu pesan beliau dalam ceramah itu : “Hendaklah orang hadir diantara kamu menyampaikan kepada pada yang tidak hadir (dalam majlis ini)”.


Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadis. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang berada di luar Madinah akan segera mengetahui hukum-hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun mereka tidak memperoleh langsung dari beliau. Mereka akan memperoleh dari saudara-saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadis tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.

Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadis pada masa Rasulullah :
·      Kegigihan Rasul saw. dan kesungguhan beliau dalam menyampaikan dakwah dan menyebarkan Islam.
·      Karakter Islam dan norma-norma barunya, yang membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
·      Kegigihan dan kemauan keras para sahabat dalam menuntut, menghafal dan menyampaikan ilmu.
·      Para Umm al-mu’minin. Mereka memiliki peranan yang besar dalam menyampaikan agama dan menyebarkan hadis kepada para wanita muslimah lainnya.
·      Wanita-wanita Sahabat. Mereka memiliki peran yang besar dalam pemeliharaan dan penyampaian hadis yang tidak kurang dari peran para laki-laki sahabat.
·      Para utusan Rasul saw. mereka bergerak menuju daerah-daerah sekitar dan yang jauh untuk mendakwahkan Islam dan mengajarkan kepada masyarakat hukum-hukum dan norma-norma. Mereka mengajari masyarakat prinsip-prinsip dakwah serta memerintahkan mereka agar berdakwah dengan bijak dan dengan mau’iz{ah hasanah.

2) Penulisan Hadis dan Pelarangannya
Pada masa Nabi saw. kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Kepandaian baca tulis tersebut misalnya yang dibawa ke Mekkah dari daerah Hirah, dibawa antara lain oleh Harb Ibn Umayyah, seorang yang banyak melawat yang kemudian orang-orang Quraisy belajar padanya. Oleh karena kecakapan tulis baca di kalangan sahabat masih kurang, maka Nabi menekankan untuk menghafal Hadis, memahami, memelihara, mematerikan/ memantapkan dalam amalan sehari-hari, serta mentabligh-kannya kepada orang lain.

Dengan demikian, periwayatan hadis pada masa Nabi saw. pada umumnya secara musyafahah-musyahadah, menerima secara lisan, menginventarisir dan memelihara dalam hafalan dan amalannya, serta menyampaikannya secara lisan pula.
Berbeda dengan al-Qur’an, yang pada masa Nabi sudah ada perintah jelas untuk dihafal dan ditulis oleh para sahabat., bahkan Nabi sendiri yang mengangkat panitia penulis wahyu (al-Qur’an) yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an yang turun atas petunjuk langsung dari Nabi saw. sehingga sepeninggal Nabi saw. seluruh ayat al-Qur’an sudah tercatat meskipun belum terkumpul dalam suatu mushaf. Terhadap hadis tidak demikian. Nabi Memerintahkan untuk dihafal saja tanpa ada penyelenggaraan penulisan secara resmi seperti al-Qur’an.

Hadis pada masa awal belum ditulis secara umum. Hal ini dikarenakan dua hal :
a)   Berpegang teguh pada kuatnya hafalan para sahabat, kecerdasan otak mereka, disamping tidak adanya sarana tulis-menulis.
b)   Adanya larangan dari Nabi.

أخبرنا يزيد بن هارون انا هشام عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد الخدري ان النبي صلى الله عليه و سلم قال : لا تكتبوا عني شيئا الا القرآن فمن كتب عني شيئا غير القرآن فليمحه.(رواه الدرامى(

“Mengkhabarkan kepada kami Yazid bin Harun sesungguhnya Hisyam dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id al-Khudri berkata sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : Janganlah kalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hendaklah dihapuskannya.”(HR. ad-Daramy).

Sesungguhnya alasan Nabi melarang penulisan hadis adalah kekhawatiran bercampurnya antara ayat-ayat al-Qur’an, kesibukan sahabat menulis hadis melalaikan mereka terhadap al-Qur’an, dan larangan ini dikhususkan bagi mereka yang kuat hafalannya.

Soetari menambahkan bahwa faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadis adalah :
a)   Agar tidak adanya kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan al-Qur’an dengan hadis. Karenanya al-Qur’an dihafal dan ditulis sedangkan hadis dihafal saja.
b)   Pencatatan al-Qur’an yang turunnya berangsur-angsur memerlukan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang kontinyu, sedang sahabat yang pandai menulis sangat terbatas, maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
c)   Menyelenggarakan pemeliharaan hadis dengan hafalan tanpa tulisan secara keseluruhan berarti memelihara kekuatan hafalan di kalangan ummat Islam atau bangsa Arab yang sudah terkenal kuat daya hafalnya.
d)   Penulisan hadis dengan segala ucapan, amalan, mu’amalah dan sebagainya merupakan hal yang sulit sekali secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw. dalam segala hal.

Adanya anjuran Nabi untuk menghafal hadis tidak menutup kemungkinan adanya penulisan secara perorangan yang dilakukan oleh para sahabat, bahkan diantaranya ada yang berusaha membuat koleksi, antara lain :
a)   Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, s{ahifah-nya disebut al-S{adiqah. Ibn Katsir menyebutkan, bahwa shahifah ini berisikan seribu hadis.
b)   Ali Ibn Abi Thalib penulis hadits tentang hukum diyat, hukum kekeluargaan dan lain-lain.
c)   Jabir Ibn Abdullah al-Anshari.
d)   Anas Ibn Malik.

Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadis secara khusus setelah peristiwa fathu makkah, itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِىُّ حَدَّثَنِى يَحْيَى - يَعْنِى ابْنَ أَبِى كَثِيرٍ - عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا فَتَحَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَكَّةَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِيهِمْ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ الْفِيلَ وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِى سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ ثُمَّ هِىَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لاَ يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلاَ يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلاَ تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلاَّ لِمُنْشِدٍ ». فَقَامَ عَبَّاسٌ أَوْ قَالَ قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلاَّ الإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقُبُورِنَا وَبُيُوتِنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِلاَّ الإِذْخِرَ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَزَادَنَا فِيهِ ابْنُ الْمُصَفَّى عَنِ الْوَلِيدِ فَقَامَ أَبُو شَاهٍ - رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُبُوا لِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ ». قُلْتُ لِلأَوْزَاعِىِّ مَا قَوْلُهُ « اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ ». قَالَ هَذِهِ الْخُطْبَةَ الَّتِى سَمِعَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.


Adanya perintah dan larangan penulisan hadis ini menimbulkan kontradiksi di kalangan ulama’. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadis pelarangan telah di-nasakh dengan hadis perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadis perintah khususnya hadis Abu Syah disampaikan setelah Fath{u al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis Hadis bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.

b.    Hadis pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1)   Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar Ibn al-Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran Hadis. Namun dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadis dirasa cukup membahayakan bagi otentitas hadis tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadis. Begitu juga dengan Khalifah Umar Ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits ( عصر تقليل رواية الحديث)

Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadis. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.

Sumber mengenai Abu Bakr menyebutkan bahwa setelah Nabi wafat ia mengumpulkan orang dan mengatakan kepada mereka : “Kalian akan membawa-bawa hadits dari Rasulullah saw. dengan hadis-hadis yang saling berlainan. Orang yang datang sesudah kita lebih-lebih lagi akan saling berselisih. Janganlah kalian membawa-bawa hadis Rasulullah. Jika ada yang bertanya kepada kalian katakanlah pada kita sudah ada kitabullah, maka halalkanlah mana yang dihalalkan dan haramkanlah mana yang diharamkan”. Sesudah Umar terpilih sebagai khalifah, ia meneruskan kebiasaan Abu Bakr ini, dan melarang orang menggunakan hadis Rasulullah, supaya tidak terjadi perpedaan pendapat. Karena pengaruh perintah Umar ini pengutipan hadis sangat sedikit sekali.

Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis di masa Umar, lalu menjawab, “Sekiranya aku meriwayatkan hadis di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadis pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar ibn al-Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadis. Umar mengutus para ulama’ untuk menyebarkan al-Qur’an dan hadis. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk memaki orang, memukul apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur’an dan hadis kepada kamu semua.”

Umar juga mengutip hadis-hadis jika menyangkut beberapa analogi, yang sebelum itu Umar melarang orang meriwayatkan hadis. Yang terpenting dengan soal analogi ini adalah yang menyangkut beberapa masalah hukum pengadilan. Apa yang sudah diputuskan oleh Rasulullah dijadikan dalil dan analogi (kias). Dalam masalah hukum Umar tak dapat melarang orang mengacu kepada hadis atau sunnah seperti larangannya mengenai riwayat hadis.

2) Masa Pemerintahan Uthman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Uthman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sesudahnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar Ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan Uthman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar.

Namun pada dasarnya, periwayatan Hadis pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan
عصر إكثار رواية الحديث .

Keleluasaan periwayatan Hadis tersebut tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Uthman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.

Sedangkan pada masa Ali Ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.

3) Situasi Periwayatan Hadis

Dalam perkembangannya, periwayatan hadis yang dilakukan para sahabat berciri pada dua tipologi periwayatan :
a)   Dengan menggunakan lafal hadis asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah yang mereka hafal dengan benar lafalnya.
b)   Hanya maknanya saja. Karena sulit menghafal lafal redaksi hadis persis dengan yang disabdakan Nabi.

Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat meriwayatkan hadis jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadis setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadis. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadis yang diriwayatkannya.

Suasana masyarakat pada masa khulafa al-rashidin mendorong para sahabat untuk berhati-hati dalam soal periwayatan hadis, baik dalam menerima maupun menyampaikannya. Tindakan berhati-hati (ihtiyath) para sahabat dalam periwayatan hadis berupa :
a)   Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadis dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntunan pengamalan agama. Hal ini karena khawatir akan dipergunakan oleh orang-orang munafik menjadi jalan membuat hadis palsu.
b)   Menapis dalam penerimaan hadis, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi setiap hadis, apakah cukup ‘adil dan d{abit{ atau masih meragukan dan apakah marwi-nya cukup hafiz{ dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis mutawatir atau mashhur. Terkadang kalau menerima hadis yang diragukan, para sahabat meminta saksi atau keterangan-keterangan yang bisa menimbulkan keyakinan.
c)   Melarang meriwayatkan secar luas hadis yang belum difahami umum.
Sikap kehati-hatian para sahabat ditujukan untuk menjaga kemurnian hadis agar terhindar dari sisipan-sisipan yang ditambah-tambahkan oleh orang-orang munafik.

Adapun menulis hadis masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah Khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.

c.   Hadis pada Periode Ketiga (Masa Sahabat-Tabi’in Besar)
1)  Masa Penyebarluasan Hadis
Sesudah masa khulafa’ al-rashidin, timbullah usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebih serius untuk mencari, menghafal dan menyebarkan hadis kepada masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis. Menurut riwayat al-Bukhary, Ahmad, at-Thabrany, dan al-Baihaqy, Jabir pernah pergi ke Syam melakukan perlawatan sebulan lamanya untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah didengarnya kepada seorang shahaby yang tinggal di Syam yaitu Abdullah Ibn Unais al-Anshary. Ibnu Ayyub al-Anshary juga melakukan perlawatan, ia pernah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amr untuk menanyakan sebuah hadis kepadanya.

Pada fase ini hadis mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna, bahkan tatacara periwayatan hadis pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadis ini berkaitan erat dengan upaya ulama’ untuk menyelamatkan hadis dari usaha-usaha pemalsuan hadis.

Kegiatan periwayatan hadis pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode khulafa’ al-rasyidin. Kalangan tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadis. Meskipun masih banyak periwayat hadis yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, kehati-hatian pada masa itu bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan hadis telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan golongan memicu munculnya hadis-hadis palsu.

Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman ra. Umat Islam pecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan Ali ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah, Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah, Ketiga golongan Jumhur (golongan yang pro pemerintah pada masa itu).

Adanya golongan-golongan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan pertentangan, bukab saja dalam bidang politik dan pemerintahan namun juga dalam ketentuan-ketentuan agama. Masing-masing lebih mengunggulkan golongannya dan didorong kepentingan golongannya itu, mereka berupaya mendatangkan keterangan (hujjah) untuk mendukung keberadaan mereka. Dari suasana inilah maka muncul hadis-hadis palsu dan tersebar di masyarakat. Pemalsuan hadis ini mencapai puncaknya pada periode ketiga yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.

2)     Tokoh-tokoh dalam perkembangan Hadis.
Karena meningkatnya periwayatan hadis pada masa ini, maka muncullah; bendaharawan-bendaharawan hadis dan lembaga-lembaga (centrum perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.

Adapun lembaga-lembaga hadis, yakni yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan pengembangan hadis terdapat di :
a)   Madinah, dengan tokohnya antara lain; Abu Bakr, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Urwah, Said, al-Zuhri. Abdullah ibn Umar.
b)   Makkah, dengan tokohnya antara lain; Mu’adz, Ibn Abbas, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabbah, Abu al Zubair Muhammad ibn Muslim.
c)   Kuffah, dengan tokonya antara lain; Abdullah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqas, Said ubn Zaid, Abu Juhaifah, Khabbah ibn al-Arrat.
d)   Bashrah, dengan tokohnya antara lain; Anas ibn Malik, Utbah, Abu Barzah, Ma’qil ibn Yasar, Abu Bakrah, Jariah ibn Qudamah, Abu al-Aliyah.
e)   Syam, dengan tokohnya antara lain; Mu’adz ibn Jabbal, Ubadah ibn Tsamit, Abu Darda
f)    Mesir dengan tokohnya antara lain; Abdullah ibn Amer, Abu Basyrah, Abu Sa’ad al-Khair, Yazid ibn Abi Habib, Uqbah ibn Amir.

2.   Periodesasi Perkembangan Ilmu Hadis dan Tokoh-tokohnya
a.     Periode Pertama (Zaman Rosul)
·      Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
·      Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
·      Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadis karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang/masih diturunkan.
·      Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadis, mereka meriwayatkan hadis mengandalkan hafalan secara lisan.
·      Sebagian kecil sahabat -yang pandai baca tulis- menuliskan hadis seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadis dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadis yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir
·      Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadis untuknya.
·      Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
·      Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.

b.    Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
·      Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
·      Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
·      Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadis kepadanya.
·      Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadis
·      Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadis.
·      Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.

c.     Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
·      Para sahabat besar telah terpencar keluar dari Madinah.
·      Jabir pergi ke Syam menanyakan hadis kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
·      Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadis.
·      Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadis, yang banyak meriwayatkan hadis antara lain :
1)       Abu Hurairah (5347 hadis)
2)       Abdullah Bin Umar (2360 hadis)
3)       Anas Bin Malik (2236 hadis)
4)       Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadis)
5)       Abdullah Bin Abbas (1660 hadis)
6)       Jabir Bin Abdullah (1540 hadis)
7)       Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadis)
8)       Ibnu Mas’ud
9)       Abdullah Bin Amr Bin Ash
·      Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadis palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadis palsu adalah Syiah Rafidah.

d.    Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadis)
·      Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadis dengan motif :
1)       Beliau khawatir ilmu hadis akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
2)       Kemauan beliau untuk menyaring hadis palsu yang sudah mulai banyak beredar.
3)       Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadis bila hadis dibukukan.
4)       Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadis berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
·      Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadis yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.

Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
 “Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadis Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
·      Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadis Rasulullah saw.
·      Setelah itu penulisan hadis pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
1)       Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
2)       Al Masghazy wal Siyar, hadis sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
3)       Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
4)       Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
5)       Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)

e.     Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadis)
·      Periode Penyaringan hadis dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
1)       Menyaring hadis nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
2)       Masih tercampur baur hadis sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
3)       Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadis.
4)       Penyaringan hadis sahih oleh imam ahli hadis Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
5)       Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadis dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadis.
6)       Penyusunan kitab Sahih Bukhory
7)       Penyusunan enam kitab induk hadis (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadis yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadis yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadis dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a)        Sahih Bukhory
b)       Sahih Muslim
c)        Sunan Abu Dawud
d)       Sunan An Nasay
e)        Sunan At-Turmudzy
f)         Sunan Ibnu Majah
·      Periode menghafal dan meng-isnadkan hadis (abad ke-IV H)
1)       Para ulama hadis berlomba-lomba menghafalkan hadis yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadis.
2)       Para ulama hadis mengadakan penelitian hadis-hadis yang tercantum pada kitab-kitab hadis.
3)       Ulama hadis menyusun kitab-kitab hadis yang bukan termasuk kuttubus shittah.
·      Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadis (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
1)       Mengklasifikasikan hadis dan menghimpun hadis-hadis yang sejenis.
2)       Menguraikan dengan luas (mensyarah) kitab-kitab hadis.
3)       Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadis.
4)       Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadis.
5)       Menciptakan kamus hadis.
6)       Mengumpulkan (jami’) hadis-hadis bukhory-Muslim
7)       Mengumpulkan hadis targhib dan tarhib.
8)       Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadis kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
9)       Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadis dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
10)   Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.

f.      Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
·      Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
·      Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
·      Membuat kitab-kitab jami’
·      Menyusun kitab-kitab athraf
·      Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab yang tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar