Tulisan kedip

Senin, 26 September 2011

BAB II
TAHAMMUL WAL ADA’UL HADIS



A.   Tahammulul Hadis             
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadis, lalu mereka membikin beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasin antara 'tahammul hadis' selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan, di mana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah SAW dan memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain. Di samping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi ini adalah cara yang paling selamat dan cara yang paling cermat.


1.   Pengertian Tahammulul Hadis
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya hadis tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.

2.   Macam-macam Tahammulul Hadis
Metode penerimaan sebuah hadis dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a.     Al-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadis simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadis yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut:

سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى  ,قال لى فلان

Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadis yang didengar langsung Hadis yang diriwayatkan dengan salah satu lafadh diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.

b.    Al-Qira’ah (membacakan hadis pada syeikh).
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadis pada syeikh,. Baik hadis yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadis, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.

Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadis yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadis yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.

Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadis melihatnya sebagai bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadis adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.

c.     Al-Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadis dan mentransfernya dengan cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadis yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.

Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polemik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.

d.    Al-Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam:
·      Guru mengatakan “ini adalah hadis yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
·       Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepadaku”.
·       Seorang murid membawakan hadis yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadisku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadis kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadis yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.

e.     Al-Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadis -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadis diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.

f.      Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadis ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadis riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.

Mayoritas ulama -hadis, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadis sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadis, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.

g.     Al-Washiyat
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadis yang diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadis menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.

Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadis dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadis tersebut diterima
dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadis dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.

h.    Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadis yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadis tersebut dari penulisnya. Al-Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadis yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadis dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti di atas.



3. Syarat-syarat Tahammulul Hadis       
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:
·      Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
·      Berakal sempurna
·      Tamyis

Ulama’ hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.

Beberapa ulama’ hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadis, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.

B.   Ada’ul Hadis           
1.   Pengertian Ada’ul Hadis          
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologis Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadis dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadis kepada murid, atau proses mereportasekan hadis setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadis kepada orang lain. Dalam hal ini mayoritas ulama hadis, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
·      Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
·      Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
·       Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadis dan mengetahui arti hadis apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
·       Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya

2.   Klasifikasi Lafal-lafal yang Digunakan untuk Meriwayatkan Hadis           
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadis di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadis, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadis tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadis. Sebagaimana berikut:
a.  Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني

b.  Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه

c.  Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى

d.   Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah:
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة

e.  Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة

f.   Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام

g.  Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية

h.  Ketika proses tahamul melalui metode wijadah (penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان

3.   Syarat-syarat Ada’ul Hadis     
Mayoritas ulama hadis, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
·      Islam
·      balig
·      berakal
·      takwa

Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadis -seperti diungkapkan al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur di sini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar