BAB II
TAHAMMUL WAL ADA’UL HADIS
A.
Tahammulul Hadis
Para ulama
hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadis, lalu mereka membikin
beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai bentuk
yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasin antara 'tahammul
hadis' selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan, di mana bagian satu
dengan yang lain tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan
penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah SAW dan memindahkan
dengan baik dari seseorang kepada orang lain. Di samping itu mereka yakin bahwa
cara yang seperi ini adalah cara yang paling selamat dan cara yang paling
cermat.
1.
Pengertian Tahammulul Hadis
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul
adalah mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah satu cara
tertentu . Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat
di antara para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur
(belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya
juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya
hadis tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah
sebaliknya.
2.
Macam-macam Tahammulul Hadis
Metode penerimaan sebuah hadis dan juga penyampaianya
kembali ada delapan macam yaitu :
a.
Al-Sima’ (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’
mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi).
Menurut mayoritas ahli hadis simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadis yang
didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat
berikut:
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى ,قال لى فلان
Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka
dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada
masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian
pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal
itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadis yang
didengar langsung Hadis yang diriwayatkan dengan salah satu lafadh diatas
menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b.
Al-Qira’ah (membacakan hadis pada syeikh).
Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk.
Pertama, seorang rawi membacakan hadis pada syeikh,. Baik hadis yang dia hafal
atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain
membacakan hadis, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadis yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadis yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadis melihatnya sebagai bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadis adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c.
Al-Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadis dan mentransfernya
dengan cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk
meriwayatkan hadis yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid
tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm
menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polemik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d.
Al-Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadis
tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq
Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian,
yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian
bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam:
· Guru
mengatakan “ini adalah hadis yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia
kepada mu”.
· Mirip
dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya
“ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepadaku”.
· Seorang
murid membawakan hadis yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini
adalah hadisku, riwayatkanlah ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah,
seperti kasus seorang guru yang memberikan hadis kepada muridnya dan berkata
“ini adalah hadis yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk
meriwayatkan.
e.
Al-Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas
seorag guru menuliskan hadis -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain-
untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan
kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah
juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan
ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadis dengan
cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga
tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadis diriwayatkan dengan
lafat كتب إلي فلان.
f.
Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang
memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadis ini adalah riwayat
darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk
menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada
gurunya “ini adalah hadis riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu
syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadis, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadis sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadis, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
g.
Al-Washiyat
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak
bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang
tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh
mereportasekan hadis yang diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadis
menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh
memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Sekalipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadis dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadis tersebut diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadis dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h.
Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadis yang ditulis oleh orang
yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah
bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadis tersebut dari penulisnya.
Al-Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang
memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadis yang memperbolehkan
menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan
lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadis dengan cara ini apabila
kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel.
Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti di atas.
3. Syarat-syarat Tahammulul Hadis
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan
untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:
·
Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau
memiliki dokumen yang valid).
·
Berakal sempurna
·
Tamyis
Ulama’ hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis, sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadis, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh.
B.
Ada’ul Hadis
1.
Pengertian Ada’ul Hadis
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadis
dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadis
kepada murid, atau proses mereportasekan hadis setelah ia menerimanya dari
seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadis
kepada orang lain. Dalam hal ini mayoritas ulama hadis, ushul, dan fikh
memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta
hadist, yang antara lain:
·
Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
·
Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian
melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
·
Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadis dan
mengetahui arti hadis apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil
ma’na).
·
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan
periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah suatu karakter yang terdapat dalam
diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif,
atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya
2.
Klasifikasi Lafal-lafal yang Digunakan untuk
Meriwayatkan Hadis
Dari beberapa
proses penerimaan dan penyampaian hadis di atas kita bisa mengambil kesimpulan
sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadis, maka ia
harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadis tersebut
dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadis.
Sebagaimana berikut:
a.
Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya
adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut
al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا,
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
b. Jika proses
tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus
menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا
سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
c. Ketika
proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
d. Ketika
prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah:
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان
ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
e. Ketika
proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة
وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
f. Ketika
prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام,
أخبرنى فلان بإلاعلام
g. Ketika
proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan
kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية,
حدثني فلان بالوصية
h. Ketika
proses tahamul melalui metode wijadah (penemuan sebuah manuskrip atau buku),
maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
3.
Syarat-syarat Ada’ul Hadis
Mayoritas
ulama hadis, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadis harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabit),
serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat
kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadis
maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat adalah seseorang harus memenuhi empat
syarat yaitu:
· Islam
· balig
· berakal
· takwa
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadis -seperti diungkapkan al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur di sini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar