Sebagai warga Indonesia khususnya warga NU haruslah
mengetahui sejarah Bangsa ini. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan NKRI dan
bagaimana latar belakang lahirnya ormas terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU)
ini lahir. Silakan disimak dan dihayati mudah-mudahan menjadi pijakan bagi kita
untuk lebih menghargai jasa-jasa para Pahlawan.
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
1.
Motif
Agama.
Bahwa
Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah
di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal tidak
hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan
sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris Kristiani ke
berbagai wilayah.
2.
Motif
Nasionalisme.
NU
lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama
dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama
Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Hadhratus
Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di
berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong
Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya.
Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH. M. Yusuf Hasyim -Pak Ud).
Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur.
Sejarah
mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris
tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir
Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah
hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.
Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari: “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela al-Qur'an. Sekali lagi, membela tanah air?”
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan para Kiyai lain untuk mengumpulkan para Kiyai se-Jawa dan Madura. Para Kiyai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.
Pada 23 Oktober 1945, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu: a) Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. b) Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. c) Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan Kiyai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya.
Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari pahlawan. Para Kiyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non regular Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para Kiyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
3.
Motif
Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
NU
lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada
ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Para Pengikut Sunnah Nabi, Sahabat dan
Ulama Salaf Pengikut Nabi-Sahabat), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran
baru (tidak dikenal zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah).
Pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat (bid'ah madzmumah) menurut ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut:
a)
Kaum Khawarij
dengan imam/pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab ar-Rasabi yang muncul di masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. yang berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar adalah kafir, sehingga ciri khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam
yang tidak sepaham dengan ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi
Thalib Ra. pun dicap kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran
tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah Ra.
b)
Kaum Syi'ah,
lebih-lebih setelah munculnya sekte syi'ah Rafidhah dan Ghulat. Tokoh pendiri
Syi'ah adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan
menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat
Nabi Saw. Dan yang mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib Ra. Dan Abu
Bakar, Umar dan Utsman termasuk perampok jabatan.
c)
Aliran Mu'tazilah
yang didirikan oleh seorang tabi'in yang bernama Wasil bin Atho', ciri ajaran
ini adalah menafsirkan al-Qur'an dan kebenaran agama ukurannya adalah akal
manusia, bahkan mereka berpendapat demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan
al-manzilah baina al-manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka
sebagai tempat bagi orang-orang gila.
d)
Faham Qodariyyah
yang pendirinya adalah Ma'bad al-Juhaini dan Ghailan ad-Dimasyqi keduanya murid
Wasil bin Atho' dan keduanya dijatuhi hukuman mati oleh Gubernur Irak dan
Damaskus karena menyebarkan ajaran sesat (bid'ah), ciri ajarannya adalah
manusia berkuasa penuh atas dunia ini, karena tugas Allah telah selesai dengan
diciptakannya dunia, dan bertugas lagi nanti ketika kiamat datang.
e)
Aliran Mujassimah
atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini menjasmanikan Allah (menyerupakan Allah
dengan makhluk) yang diawali dengan menafsirkan al-Qur'an secara lafdziy dan
tidak menerima ta'wil, sehingga sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan
Allah. (Lihat Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Baari Juz XX hal. 494).
Bahkan mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua mata Allah
kesedihan, lalu para malaikat datang menemuiNya dan Dia (Allah) menangisi
(kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh As. sehingga mataNya menjadi merah, dan
‘Arsy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arsy
dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. (Lihat asy-Syahrastani
dalam al-Milal wa an-Nihal, hal. 141).
f)
Ajaran-ajaran Para
Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H /
1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Saw.
wafat atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi'i). Beliau mengaku penganut
madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang
menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim
al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah
yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur'an dan Hadits, tetapi di sisi
lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah).
Mereka ingin memberantas bid'ah tetapi pemahaman tentang bid'ahnya melenceng
dari makna bid'ah yang dikehendaki Rasulullah Saw., yang dipahami oleh para
sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah.
Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur'an-Sunnah secara lafdziy. Golongan Salafi ini percaya bahwa al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan di dalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah Swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan di antara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul di dalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.
Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah Swt. (umpama Dia Swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhlukNya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah Swt. duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah di antara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari madzhab yang lain. Salafisme ini hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram. (Penjelasan rincinya akan dibahas kemudian).
Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, seorang pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.
Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlussunnah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya:
·
Dalam sebuah surat
yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab
Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Aku mengingatkan
kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan
kekafiran, syirik dan kemunafikan! Engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat
tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini! Engkau adalah seorang
penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran
terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat dalam
ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).
·
Dalam sebuah surat
yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap
pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha)
secara keseluruhan. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan
itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal
tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat
terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat dalam
ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
·
Berkaitan dengan
Imam Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i
Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut
telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang.” (Lihat
dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355). Betapa kedangkalan ilmu Muhamad
bin Abdul Wahhab terhadap karya Imam Fakhrur Razi. Padahal dalam karya
tersebut, Imam Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan
fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi,
termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab
dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan
julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
Dari berbagai pernyataan di atas maka jangan kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta diikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)–para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat dalam ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Tokoh Pembaharu Agama (mujaddid) lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar.
Dalam perkembangannya aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya. Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Takhrij/mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).
Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya:
a.
Dibawa oleh
seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta yang bernama Darwis
yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat
majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad
Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan
Muhammadiyyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya
KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau
terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
b.
Syaikh Akhmad
Soorkati (1872-1943) seorang tokoh pembaharu (mujaddid) asal Sudan yang kalah
bersaing dalam Jami'at al-Khair di negaranya, kemudian Hijrah ke Indonesia dan
tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi al-Irsyad.
c.
Di Bandung pun
muncul Mujaddid yang bernama A. Hasan yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung
atau Hasan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi PERSIS (Persatuan
Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang.
d.
HOS. Cokroaminoto
dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).
e.
Apa yang
Menyebabkan Aliran "Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahhabi.
Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Dir’iyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Dir’iyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Wahhabi.
Keluarga/Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahhabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukkan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga membawa tanah tinggi 'Asir di bawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, dan menguasai kota suci Shi'ah, Karbala tahun 1801.
Pada
tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah,
Madinah dan sekitarnya) di bawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan
kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun
1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi
diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad
Ali Pasha.
Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Dir’iyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818.
Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abdil Wahhab ke Mesir dan Ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.
Perselingkuhan agama - ambisi kekuasaan - kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahhabi - klan Al Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa'ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu dipimpin Raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil Raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama raja Syarif Ali.
Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar Wahhabi-klan Ibnu Sa'ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka Raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak.
Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa'ud dan Wahhabi. Dan ahirnya tepat tanggal 23 September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-'Arabiyyah as-Sa'udiyyah, Kerajaan Arab Sau'di, yang dinisbatkan kepada nama leluhurnya yakni Al Sa'ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengeksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.
Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi faham Wahhabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah Saw., sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang/tempatnya kemusyrikan.
Ketika
aliran Salafi-Wahhabi berkembang di Dir’iyyah maupun Najed itu belumlah membuat
risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua
kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk
dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di
Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia
memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas
tunggal, yakni madzhab Wahhabi.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa'ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari .
Susunan delegasi Komite Hijaz NU untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud adalah sebagai berikut:
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem Ketua : KH. Hasan Gipo, Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil Sekretaris : Muhammad Shadiq Pembantu : KH. Abdul Halim
Materi pokok yang hendak disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa'ud adalah:
1)
Meminta kepada
raja Ibnu Sa'ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali.
2)
Meminta tetap
diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk
masjid.
3)
Mohon agar
disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, baik
ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh.
4)
Mohon hendaknya
semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya
tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.
5)
Jam'iyyah NU mohon
jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa'ud
dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut.
Daftar Pustaka:
• Al-Milal wa al-Nihal, Syaikh Abdul Karim asy-Syahrastani •
Fath al-Bari fi Syarh Shohih al-Bukhari, Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani • KH.
Zainul Arifin, panglima Hizbullah, Seorang Pahlawan, NU Online • Pertumbuhan
dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya • Resolusi Jihad
dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos • Telaah Kritis Atas
Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin • Dll.
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 09 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar