Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah
Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna
al-Jamâl (الجمال): kecantikan,
keindahan.b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan
secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits
mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf.
Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari
dua bagiannya saja.
Pengertian Hadits Hasan menurut para
ulama hadits dan definisi terpilih:
- Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
- Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
- Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh
Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut
Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan
periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi
yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali
kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah
definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li
Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya
beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya
adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena
tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn
Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di
dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh
sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli
fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas
ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh
dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang
dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits
Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai
pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.”
(Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata,
“Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman
adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar
bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada
di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya
pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan
at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang
periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya
(Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan
periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab
Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh
karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa
tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya,
maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua,
hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya,
seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin
Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan
Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh
sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1.
Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di
bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2.
Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di
bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia
Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz
atau ‘Illat.
Seorang
ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah
memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi
pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih
sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya
tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan
kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz
atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum
mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan
tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang
ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,”
tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu
hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh
sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Makna
Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya,
“Hadits Hasan Shahîh”
Secara
implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan
kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara
keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama
memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy
tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan
disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1.
Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai
periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau
dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2.
Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok
ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan
Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para
ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang
dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian
Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di
dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah
khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam
kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada
hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy,
Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan,
“Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang
digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga
terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh
karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari
itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” )
mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam
kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih”
atau “Hasan.”
Kitab-Kitab
Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan
Para
ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang
memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh
di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang
di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur
adalah:
- Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan
at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal
hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah
ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya. - Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
- Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar