BAB IV
PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN
KUALITAS SANADNYA
Berita
(khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya
terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahih dan Hasan. Masing-masing
dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzatihi dan Li
Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4
bagian, yaitu:
·
Shahih Li Dzatihi (Shahih secara
independen)
·
Hasan Li Dzatihi (Hasan secara
independen)
·
Shahih Li Ghairihi (Shahih karena yang
lainnya/riwayat pendukung)
·
Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang
lainnya/riwayat pendukung)
Dalam kajian kali ini, kita akan
membahas seputar bagian pertama di atas, yaitu Shahih Li Dzatihi (Shahih secara
independen)
A.
Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits
Shahih
Secara bahasa (etimologi), kata صحيحا (sehat) adalah antonim dari kata سقيما (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan,
maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam
hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan
(majaz).
Menurut
istilah ilmu Hadits ialah:
مَا اتصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضابِطِ عَنْ مِثلْهِ إلَى مُنْتَهَاهُ
مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلةٍ
“suatu Hadits yang sanad (jalur
transmisi)nya
bersambung dari permulaan sampai akhir(akhir
jalur transmisi), disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal
yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih
terpercaya darinya (syadz/kejanggalan) dan tidak ada
‘illat (penyakit) yang erat”.
Penjelasan Definisi
o Sanad bersambung : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara
langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga
akhirnya.
o Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim,
baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
o Periwayat Yang Dlabith :
Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya
mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di
dalam tulisan (kitab)
o Tanpa Syudzudz : Bahwa
hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syadz (hadits yang
diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah
darinya)
o Tanpa ‘illat : Bahwa hadits
yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lul (yang ada ‘illatnya). Makna
‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng
keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
2. Syarat-syarat
Hadits Shahih
Jadi suatu Hadits
dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
a. Semua
rawinya adil.
b. Semua
rawinya sempurna ingatan (dlabith)
c. Sanadnya
bersambung-sambung tidak putus
d. Tidak
ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
e. Tidak
janggal (Syadz)
Contohnya
Untuk lebih mendekatkan kepada
pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk
itu.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلم قَرَءَ فِى الْمَغْرِبِ بِالطوْرِ (رواه البخارى)
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhari, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thur pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahih karena:
o Sanadnya bersambung, sebab
masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya.
Sedangkan penggunaan lafazhعن (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn
Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan
periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan
riwayat).
o Para periwayatnya dikenal
sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlabith. Berikut data-data tentang sifat
mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dl :
‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imam Hâfizh. Ibn Syihab :
Faqih, Hafizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin
Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
o Tidak terdapatnya
kejanggalan (Syudzudz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
o Tidak terdapatnya ‘Illat
apapun.
3. Klasifikasi Hadits
Shahih
Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih
dan sahih li-ghairih.
Sahih li-dzatih
adalah Hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat Hadits sahih.
Sahih li-ghairih
adalah Hadits sahih yang di antara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi
mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.
4.
Hukum Hadits Shahih
Wajib mengamalkannya menurut
kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang
memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah
syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak
mengamalkannya.
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini
Shahih” “Hadits ini tidak Shahih”
o Yang dimaksud dengan ucapan
mereka “Hadits ini Shahih” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah
terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian
keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau
lupa.
o Yang dimaksud dengan ucapan
mereka “Hadits ini tidak Shahih” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut
ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama
bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak
kekeliruan bertindak benar.
Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan
Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak?
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak
dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang
paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya
syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas
paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih
baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang
paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah
meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal
sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.
Diantara pernyataan-pernyataan itu
menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah:
o Riwayat az-Zuhriy dari
Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil
dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
o Riwayat Ibn Sirin dari
‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari
Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
o Riwayat al-A’masy dari
Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang
dinukil dari Yahya bin Ma’in.
o Riwayat az-Zuhriy dari
‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang
dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
o Riwayat Malik dari Nafi’
dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhari.
Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan
Hanya Memuat Hadits Shahih Saja
Kitab pertama yang hanya memuat hadits
shahih saja adalah kitab Shahih al-Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya
adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat
(ijma’) untuk menerima keduanya.
Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya?
Yang paling shahih diantara keduanya
adalah Shahih al-Bukhari, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini
dikarenakan hadits-Haditst yang diriwayatkan al-Bukhari paling tersambung
sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat
intisari-intisari fiqih dan untaian-untaian bijak yang tidak terdapat pada
kitab Shahih Muslim.
Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab
terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih
kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhari.
Sekalipun demikian, ada juga para ulama
yang menyatakan bahwa Shahih Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar
adalah pendapat pertama, yaitu Shahih al-Bukhari lebih shahih.
Apakah Keduanya Mencantumkan Semua
Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu?
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak
mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahih mereka ataupun berkomitmen
untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan mereka sendiri, seperti apa yang
dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini,
yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”
Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih
Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat?
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya
sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun
pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang
terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhari sendiri mengakui hal itu ketika
berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal
sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak
shahih.”
Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di
Dalam Kitab ash-Shahihain?
o Di dalam Shahih al-Bukhari
terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang
sebanyak 4000 hadits.
o Di dalam Shahih Muslim
terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang
sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.
Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits
Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahihain?
Kita bisa mendapatkannya di dalam
kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahih Ibn Khuzaimah, Shahih Ibn
Hibban, Mustadrak al-Hakim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Daruquthniy, Sunan
al-Baihaqi, dan lain-lain.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
5.
Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita
kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang
dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan
karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa
hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
Tingkatan paling tingginya adalah
bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’
dari Ibn ‘Umar.
Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu
bilamana diriwayatkan dari jalur Rijal (rentetan para periwayat) yang
kapasitasnya di bawah kapasitas Rijal pada sanad pertama diatas seperti riwayat
Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Yang dibawah itu lagi tingkatannya,
yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan
sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka
(tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian di atas dikaitkan
dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
o Hadits yang diriwayatkan
secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (ini tingkatan paling tinggi)
o Hadits yang diriwayatkan
secara tersendiri oleh al-Bukhari
o Hadits yang dirwayatkan
secara tersendiri oleh Muslim
o Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
o Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
o Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
o Hadits yang dinilai shahih
oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban yang bukan
berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
B.
Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits
Hasan
Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan
(حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari
kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamal (الجمال): kecantikan, keindahan.b. Secara Istilah
(teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada
di tengah-tengah antara Shahih dan Dlo’if. Juga, dikarenakan
sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya
saja.
Definisi hadits hasan menurut para
ulama hadits:
1. Definisi al-Khaththaby : yaitu, “setiap
hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan
rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas
ulama fiqih.” (Ma’alim as-Sunan:I/11)
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits
yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai
pendusta, hadits tersebut tidak Syadzdz (janggal/bertentangan dengan
riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah
yang menurut kami dinamakan dengan Hadits Hasan.” (Jami’ at-Turmudzy
beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di
akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahad
yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan),
sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syadzdz,
maka inilah yang dinamakan Shahih Li Dzatih (Shahih secara independen).
Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang, maka ia disebut Hasan Li Dzatih
(Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr. Mahmud ath-Thahhan
mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah
hadits Shahih yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias
kurang (mantap) daya ingat/hafalannya.
Ini adalah definisi yang paling baik
untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththaby banyak sekali kritikan
terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah
satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan
karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan
Hasan Li Dzatih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dlo’if)
yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur
periwayatannya.”
Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang
disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
2.
Tingkatan-Tingkatan Hadits Hasan
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki
beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang
lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa
tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya
dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi),
yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr
bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Timiy. Dan semisal
itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan
hadits Shahih.
Kedua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an
dan ke-Dlo’if-annya, seperti hadits al-Harits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin
Dlumrah dan Hajjaj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits
yang shahih sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
a. Ucapan para ulama hadits,
“Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan
mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
b. Demikian juga ucapan
mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan
mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan
sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzudz atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini
adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita
bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila
dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia
telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan,
yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan
(Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzudz atau ‘Illat pada
hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini
lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hafizh
(penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan,
“Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, tanpa menyebutkan ‘illat
(penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak
(secara lahiriah) adalah matannya juga Shahih sebab asal ucapannya
adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzudz.
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahih”
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti
ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahih,
jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda? Untuk
menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas
maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang
dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyuthy, ringkasannya adalah:
a. Jika suatu hadits itu
memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka
maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahih
bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
b. Bila ia hanya memiliki satu
sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahih
menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan
kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap
hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu
dari keduanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang
Dilakukan Oleh Imam al-Baghawi Dalam Kitab “Mashabih as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashabih
as-Sunnah” imam al-Baghawi menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan
kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain atau
salah satunya dengan ungkapan, “Shahih” dan kepada hadits-hadits yang terdapat
di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasa`iy, Sunan Abi Da`ud, Sunan
at-Turmdzy dan Sunan Ibn Majah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan
isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits
sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahih, Hasan,
Dlo’if dan Munkar.
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalah dan
an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab
ini (“Mashabih as-Sunnah”) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai
oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari
hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat
Ditemukan Hadits Hasan
Para ulama belum ada yang mengarang
kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja
sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahih di dalam kitab-kitab
terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak
ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:
a.
Kitab Jami’ at-Turmudzy atau
yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk
di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang
memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak
menyinggungnya.
Namun
yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya
tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahih”, sehingga karenanya,
seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang
telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli
(manuscript) yang dapat dipercaya.
b. Kitab Sunan Abi Da`ud.
Pengarang buku ini, Abu Da`ud menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya
kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang
sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat
sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia
hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits
di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama
terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Da`ud.
c. Kitab Sunan ad-Daruquthny.
Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
3.
Hukum Hadits Hasan
Di dalam berargumentasi dengannya,
hukumnya sama dengan hadits Shahih sekalipun dari sisi kekuatannya, ia
berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih
menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama
hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari
ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidun). Sementara ulama yang dikenal
lebih longgar (al-Mutasahilun) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahih
seperti al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka
bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrib ar-Rawy:I/160)
Contohnya:
Hadits yang dikeluarkan oleh
at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata,
Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imran
al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah
mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW.,
bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan
pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat
orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya
(Tsiqat) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat
hadits Hasan sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzib
at-Tahdzib. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahih ke Hasan.
C.
Hadits Dlo’if
1. Pengertian Hadits
Dlo’if
Dlo’if
menurut bahasa lawan dari kuat.
Dlo’if
ada dua, yaitu dlo’if lahiriyah dan dlo’if maknawiyah.
Sedangkan
yang dimaksud di sini adalah dlo’if maknawiyah.
Hadits
dlo’if menurut istilah adalah:
مَالَمْ
يَجْمَعْ صِفَة الحَسَن بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat shahih dan
tidak pula didapati syarat hadits hasan”
Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas
ulama ahli hadits, hadits dlo’if adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat shohih dan hasan.
2. Macam-macam Hadits
Dlo’if
Hadist dlo’if dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu hadits dlo’if berdasarkan gugur rawi dan sanadnya dan hadits dlo’if
berdasarkan cacat rawi dalam sanad dan matan.
a. Hadits dlo’if berdasarkan gugur rawi dan
sanadnya
Dlo’if jenis ini di bagi lagi menjadi :
1)
Hadits Muallaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti
hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang
gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya
digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhori
قَالَ مَالِك عن
الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى “لاَ تَفاَ ضَلُوْا بَيْنَ الأَنْبِيَأ
Dikatakan Muallaq karena Imam
bukhori langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah
bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كَانَ النبى يَذْكُرُ
اللهَ عَلَى كُلِ أَحْوَالِهِ
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi
sebelum Aisyah
2) Hadits
Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti
hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah
hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir
sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah
dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah
hadits ini boleh dijadikan hujjah.
Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قَضَى
بِاليَمن وَالشَاهِد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin
tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
Kebanyakan Ulama memandang hadits
mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah
atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi
hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
3) Hadits
Munqothi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi
ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’
adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang
akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi
menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi
di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits ini adalah:
ما رواه عبد الرزاق
عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مَرْفُوْعًا إن وليَتَموْهَا أَبَا
بَكْرٍ فَقَوى أَمِين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd
Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari
Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi
ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat
mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqotiq.
4) Hadits
Mu’adlol
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah
hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits
mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara
beriringan dalam sanadnya.
Contoh :
يُقَالُ لِلرَجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَمِلَتْ كَذَا
وَكَذَا؟ فَيَقُوْلُ لاَ فَيَحْتم عَلَى فِيْهِ
Hadits ini berasal dari al-Sakbi dari
Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas dan Nabi.
5) Hadits
Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan
menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi
beberapa macam;
- Tadlis Isnad, adalah hadist yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadist tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadist tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/kefasikan. Contoh hadist mudallas sanad adalah :
- Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi...” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
- Tadlis ‘Athof (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadist dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadist tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
- Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadist shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang palin buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
- Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya berkata kepadaku
- Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadist darinya dan lain sebagainya.
b.
Hadits dlo’if berdasarkan cacat rawi
dalam sanad dan matan
Banyak macam cacat yang dapat menimpa
rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah
yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru,
banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan
menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah
lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda
dari maksud lafadz yang sebenarnya.
1)
Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki
pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa
hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. akan tetapi
disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni
musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat
fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat
dikatakan maudu’ dapat dilihat sanadnya yaitu:
·
Rawi hadits terkenal sebagai pembohong.
·
Perawi merupakan perawi tunggal.
·
Perawi mengaku sendiri bahwa hadits itu
adalah hadits maudu’.
·
Mengetahui sikap dan perilaku perawi.
Sedangkan tanda-tanda dari aspek matan
antara lain:
·
Arti hadits itu kontra dengan hadits
yang lain yang lebih tinggi.
·
Bertentangn dengan al-Quran, sunnah
mutawatir atau ijmak.
·
Tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Contohnya adalah hadits tentang
keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat
Anas r.a
قيل يارسول الله لم سمي رَجَب قال لأنَهُ يترجَبُ
فِيْهِ خَيْرٌ كَثِبْرٌ لِشَعْبَنَا وَرَمَضَنَا.
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan,
Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadiits palsu.
2)
Hadits Matruk atau Mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti
hadits yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits
matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh
berdusta (baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain), atau
pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits ini adalah hadits tentang
qadha’ al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn
Sa’id al Asdi dari Dhohak dari Ibn ‘Abbas.
قال النبي عَلَيْكُمْ بِاصطناع المعرُوْف فانه يَمْنَعُ
مصارع السُوْء … الخ
Menurut an Nasa’i dan Daruqutni,
Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.
3)
Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti
hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa
hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi
perawi yang kuat.
Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada
sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
Contoh
:
“Barangsiapa yang mendirikan shalat,
membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.
( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4)
Hadits Majhul
a. Majhul
‘aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta’dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh
Qutaibah ibn Sa’ad dari Ibn Luhai’ah dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi
Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa’id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده.
اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai’ah yang meriwayatkan
hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan
ta’dilnya.
b. Majhul
hali : diketahui lebih adari sati orang namun tidak diketahui jarh dan
ta’dilnya.contoh hadits ini adalah haditsnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn
Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul
hali.
5)
Hadits Mubham
Yaitu hadits yang tidak menyebutkan
nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari
seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز
اخرجه ابو داود
6)
Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti
hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan
dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh
:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah, hari kurban dan hari-hari tasyriq adalah hari raya kita umat Islam dan hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa
bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang
dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan
dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya.
Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan. Keganjilan hadits di atas
terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits
syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
Selain hadits diatas masih terdapat
beberapa hadits lagi yang termasuk dlo’if antara lain Hadits maqlub, matruh,
mudhtharab, mudha’af , mudarraj, mu’allal, musalsal, mukhtalith
untuk lebih jelasnya lihat ‘Abdur Rahman al Mun’im as Salim, Taisir al
‘Ulum al Hadits dan juga Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits
3. Hukum Hadits
Dlo’if
Menurut para ahli hadits dan yang lainnya,
boleh meriwayatkan hadits-hadits dlo’if dengan mempermudahkan sanad-sanadnya
tanpa ada penjelasan kedlo’ifannya, kecuali hadits-hadits maudlu’, maka tidak
boleh meriwayatkannya melainkan harus disertai penjelasan keadaannya, itupun
dengan dua syarat:
a. Tidak berkaitan dengan perkara
akidah, seperti sifat-sifat Allah SWT
b. Tidak dalam posisi yang
menjelaskan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masalah halal dan haram.
Jadi boleh
meriwayatkan hadits-hadits dlo’if dalam hal misalnya peringatan-peringatan
targhib (ajaran-ajaran), tarhib (ancaman-ancaman), kisah-kisah, dan yang
sejenisnya.
Yang
termasuk orang-orang yang mempermudah periwayatan hadits-hadits dlo’if antara
lain Sufyan A-Tsauri, Abdurrahman bin Muhdi, dan Ahmad bin Hanbal.
Perlu
diperhatikan, jika Anda meriwayatkan suatu hadits tanpa sanad, hendaknya anda
jangan mengatakan “Rasulullah SAW telah bersabda begini dan begini”, tetapi
Anda mengatakan “Diriwayatkan dari Rasulullah SAW begini dan begini” atau
“telah sampai kepada kami begini dan begini”. Agar Anda tidak sepenuhnya
menisbatkan hadits tersebut kepada Rasulullah SAW, padahal Anda mengetahui
persis kedlo’ifan hadits tersebut.
4.
Kehujjahan hadits dlo’if
Khusus
hadits dlo’if, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar
Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dlo’if boleh digunakan, dengan beberapa
syarat:
a. Level
Kedlo’ifannya Tidak Parah
Ternyata
yang namanya hadits dlo’if itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya.
Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dlo’if yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedlo’ifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal).
b. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya
hadits yang dlo’if itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a'mal,
harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih.
Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah
nash yang sudah shahih.
c. Ketika
Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya,
ketika kita mengamalkan hadits dlo’if itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa
ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita
lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini
dari Rasulullah SAW.
Sikap Ulama Terhadap Hadits Dlo’if :
Sebenarnya
kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dlo’if itu
sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan
pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan
orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits
serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
a.
Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah
Hadits Dlo’if
Namun
harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot
tetap tidak mau terima kalau hadits dlo’if itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dlo’if itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dlo’if di hati mereka.
Bagi mereka hadits dlo’if itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dlo’if di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
b. Kalangan
Yang Menerima Semua Hadits Dlo’if
Jangan
salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dlo’if.
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap
hadits dlo’if, asal bukan hadits palsu (maudhu').
Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, 'Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."
c. Kalangan
Menengah
Mereka
adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dlo’if
dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab
yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dlo’if antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dlo’if itu tidak terlalu parah kedlo’ifannya.
Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau
tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa
diterima.
·
Hadits itu punya asal yang menaungi di
bawahnya
· Hadits itu hanya seputar masalah
nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan.
·
Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah,
juga bukan masalah hukum.
· Ketika mengamalkannya jangan disertai
keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar