Tulisan kedip

Sabtu, 29 Oktober 2011

BAB IV
PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANADNYA


Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahih dan Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzatihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
·       Shahih Li Dzatihi (Shahih secara independen)
·       Hasan Li Dzatihi (Hasan secara independen)
·       Shahih Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
·       Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
Dalam kajian kali ini, kita akan membahas seputar bagian pertama di atas, yaitu Shahih Li Dzatihi (Shahih secara independen)


A.   Hadits Shahih
1.   Pengertian Hadits Shahih
Secara bahasa (etimologi), kata صحيحا (sehat) adalah antonim dari kata سقيما (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).

Menurut istilah ilmu Hadits ialah:

مَا اتصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضابِطِ عَنْ مِثلْهِ إلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلةٍ

“suatu Hadits yang sanad (jalur transmisi)nya bersambung dari permulaan sampai akhir(akhir jalur transmisi), disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz/kejanggalan) dan tidak ada ‘illat (penyakit) yang erat”.

Penjelasan Definisi
o  Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
o  Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
o  Periwayat Yang Dlabith : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
o  Tanpa Syudzudz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syadz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
o  Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lul (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.

2.   Syarat-syarat Hadits Shahih
Jadi suatu Hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
a.     Semua rawinya adil.
b.    Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
c.     Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
d.    Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
e.     Tidak janggal (Syadz)

Contohnya
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلم قَرَءَ فِى الْمَغْرِبِ بِالطوْرِ (رواه البخارى)

Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhari, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thur pada shalat Maghrib)

Hadits ini dinilai Shahih karena:
o   Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazhعن  (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
o   Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlabith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imam Hâfizh. Ibn Syihab : Faqih, Hafizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
o    Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzudz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
o    Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.

3.   Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.
Sahih li-dzatih adalah Hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat Hadits sahih.
Sahih li-ghairih adalah Hadits sahih yang di antara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.

4.   Hukum Hadits Shahih
Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.

Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahih” “Hadits ini tidak Shahih”
o  Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahih” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.
o  Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahih” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.

Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak?
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah:
o    Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
o   Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
o   Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
o   Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
o   Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhari.

Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan Hanya Memuat Hadits Shahih Saja
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahih al-Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.

Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya?
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahih al-Bukhari, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-Haditst yang diriwayatkan al-Bukhari paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-untaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahih Muslim.

Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhari.
Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahih Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahih al-Bukhari lebih shahih.

Apakah Keduanya Mencantumkan Semua Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu?
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahih mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”

Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat?
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhari sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”

Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di Dalam Kitab ash-Shahihain?
o   Di dalam Shahih al-Bukhari terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
o   Di dalam Shahih Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.

Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahihain?
Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahih Ibn Khuzaimah, Shahih Ibn Hibban, Mustadrak al-Hakim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Daruquthniy, Sunan al-Baihaqi, dan lain-lain.

Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.

5.   Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:

Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.

Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijal (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijal pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.

Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
   
Dapat juga rincian di atas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan: 
o  Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (ini tingkatan paling tinggi)
o  Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
o  Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
o  Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
o  Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
o  Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
o  Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).

B.   Hadits Hasan
1.   Pengertian Hadits Hasan
Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamal (الجمال): kecantikan, keindahan.b. Secara Istilah (teriminologi)

Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahih dan Dlo’if. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Definisi hadits hasan menurut para ulama hadits:
1.  Definisi al-Khaththaby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’alim as-Sunan:I/11)
2.  Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syadzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadits Hasan.” (Jami’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3.  Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahad yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syadzdz, maka inilah yang dinamakan Shahih Li Dzatih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang, maka ia disebut Hasan Li Dzatih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr. Mahmud ath-Thahhan mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahih yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya.
Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththaby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzatih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dlo’if) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

2.    Tingkatan-Tingkatan Hadits Hasan
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Timiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Kedua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dlo’if-annya, seperti hadits al-Harits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjaj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahih sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
a.     Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
b.    Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzudz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzudz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hafizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahih sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzudz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan Shahih”
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahih, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda? Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyuthy, ringkasannya adalah:
a.     Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahih bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
b.    Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahih menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari keduanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawi Dalam Kitab “Mashabih as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashabih as-Sunnah” imam al-Baghawi menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahih” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasa`iy, Sunan Abi Da`ud, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Majah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahih, Hasan, Dlo’if dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalah dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini (“Mashabih as-Sunnah”) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahih di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:
a.    Kitab Jami’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahih”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
b.    Kitab Sunan Abi Da`ud. Pengarang buku ini, Abu Da`ud menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Da`ud.
c.    Kitab Sunan ad-Daruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

3.   Hukum Hadits Hasan
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahih sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidun). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasahilun) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahih seperti al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrib ar-Rawy:I/160)

Contohnya:
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imran al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqat) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahih ke Hasan.

C.   Hadits Dlo’if
1.   Pengertian Hadits Dlo’if
Dlo’if menurut bahasa lawan dari kuat.
Dlo’if ada dua, yaitu dlo’if lahiriyah dan dlo’if maknawiyah.
Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dlo’if maknawiyah.

Hadits dlo’if menurut istilah adalah:
مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَة الحَسَن بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ

hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan

Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas ulama ahli hadits, hadits dlo’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan.

2.   Macam-macam Hadits Dlo’if
Hadist dlo’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu hadits dlo’if berdasarkan gugur rawi dan sanadnya dan hadits dlo’if berdasarkan cacat rawi dalam sanad dan matan.

a.  Hadits dlo’if berdasarkan gugur rawi dan sanadnya
Dlo’if jenis ini di bagi lagi menjadi :
1)       Hadits Muallaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
قَالَ مَالِك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى “لاَ تَفاَ ضَلُوْا بَيْنَ الأَنْبِيَأ

Dikatakan Muallaq karena Imam bukhori langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كَانَ النبى يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِ أَحْوَالِهِ

Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah

2)       Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hadits ini boleh dijadikan hujjah.
Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قَضَى بِاليَمن وَالشَاهِد

Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.

Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.

3)       Hadits Munqothi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.

Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits ini adalah:
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مَرْفُوْعًا إن وليَتَموْهَا أَبَا بَكْرٍ فَقَوى أَمِين

Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqotiq.

4)       Hadits Mu’adlol
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contoh :
يُقَالُ لِلرَجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَمِلَتْ كَذَا وَكَذَا؟ فَيَقُوْلُ لاَ فَيَحْتم عَلَى فِيْهِ

Hadits ini berasal dari al-Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas dan Nabi.

5)       Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
  • Tadlis Isnad, adalah hadist yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadist tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadist tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/kefasikan. Contoh hadist mudallas sanad adalah :
  • Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi...” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong). 
  • Tadlis ‘Athof (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadist dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadist tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
  • Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadist shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang palin buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
  • Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya berkata kepadaku
  • Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,  adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadist darinya dan lain sebagainya. 

b.   Hadits dlo’if berdasarkan cacat rawi dalam sanad dan matan
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

1)       Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.

Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.

Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat dikatakan maudu’ dapat dilihat sanadnya yaitu:
·      Rawi hadits terkenal sebagai pembohong.
·      Perawi merupakan perawi tunggal.
·      Perawi mengaku sendiri bahwa hadits itu adalah hadits maudu’.
·      Mengetahui sikap dan perilaku perawi.

Sedangkan tanda-tanda dari aspek matan antara lain:
·      Arti hadits itu kontra dengan hadits yang lain yang lebih tinggi.
·      Bertentangn dengan al-Quran, sunnah mutawatir atau ijmak.
·      Tidak sesuai dengan fakta sejarah.

Contohnya adalah hadits tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a
قيل يارسول الله لم سمي رَجَب قال لأنَهُ يترجَبُ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِبْرٌ لِشَعْبَنَا وَرَمَضَنَا.

Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadiits palsu.

2)       Hadits Matruk atau Mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits ini adalah hadits tentang qadha’ al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa’id al Asdi dari Dhohak dari Ibn ‘Abbas.
قال النبي عَلَيْكُمْ بِاصطناع المعرُوْف فانه يَمْنَعُ مصارع السُوْء … الخ

Menurut an Nasa’i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.

3)       Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat.
Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
Contoh :
 “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”

Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.

4)       Hadits Majhul
a.    Majhul ‘aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta’dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa’ad dari Ibn Luhai’ah dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa’id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود

Hanyalah Ibn Luhai’ah yang meriwayatkan hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn ‘utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta’dilnya.

b.   Majhul hali : diketahui lebih adari sati orang namun tidak diketahui jarh dan ta’dilnya.contoh hadits ini adalah haditsnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى

Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.

5)       Hadits Mubham
Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود

6)       Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Rasulullah bersabda : “Hari arafah, hari kurban dan hari-hari tasyriq adalah hari raya kita umat Islam dan hari-hari makan dan minum.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan. Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.

Selain hadits diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dlo’if antara lain Hadits maqlub, matruh, mudhtharab, mudha’af , mudarraj, mu’allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya lihat  ‘Abdur Rahman al Mun’im as Salim, Taisir al ‘Ulum al Hadits dan juga Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits

3.   Hukum Hadits Dlo’if
Menurut para ahli hadits dan yang lainnya, boleh meriwayatkan hadits-hadits dlo’if dengan mempermudahkan sanad-sanadnya tanpa ada penjelasan kedlo’ifannya, kecuali hadits-hadits maudlu’, maka tidak boleh meriwayatkannya melainkan harus disertai penjelasan keadaannya, itupun dengan dua syarat:
a.     Tidak berkaitan dengan perkara akidah, seperti sifat-sifat Allah SWT
b.  Tidak dalam posisi yang menjelaskan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masalah halal dan haram.

Jadi boleh meriwayatkan hadits-hadits dlo’if dalam hal misalnya peringatan-peringatan targhib (ajaran-ajaran), tarhib (ancaman-ancaman), kisah-kisah, dan yang sejenisnya.

Yang termasuk orang-orang yang mempermudah periwayatan hadits-hadits dlo’if antara lain Sufyan A-Tsauri, Abdurrahman bin Muhdi, dan Ahmad bin Hanbal.

Perlu diperhatikan, jika Anda meriwayatkan suatu hadits tanpa sanad, hendaknya anda jangan mengatakan “Rasulullah SAW telah bersabda begini dan begini”, tetapi Anda mengatakan “Diriwayatkan dari Rasulullah SAW begini dan begini” atau “telah sampai kepada kami begini dan begini”. Agar Anda tidak sepenuhnya menisbatkan hadits tersebut kepada Rasulullah SAW, padahal Anda mengetahui persis kedlo’ifan hadits tersebut.

4.   Kehujjahan hadits dlo’if
Khusus hadits dlo’if, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dlo’if boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a.  Level Kedlo’ifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dlo’if itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.

Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dlo’if yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedlo’ifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal).

b.  Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dlo’if itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a'mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.

c.  Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dlo’if itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

Sikap Ulama Terhadap Hadits Dlo’if :
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dlo’if itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis.

Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
a.     Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dlo’if
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dlo’if itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dlo’if itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dlo’if di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.

b.  Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dlo’if
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dlo’if. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dlo’if, asal bukan hadits palsu (maudhu').

Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, 'Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."

c.  Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dlo’if dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dlo’if antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
•   Hadits dlo’if itu tidak terlalu parah kedlo’ifannya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
·      Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
·      Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan.
·      Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
·    Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar