Tulisan kedip

Rabu, 12 Agustus 2009

Hubungan antara Aqidah dan Syariat

Oleh Abu Ismail Atsari

Termasuk perkara yang secara pasti telah diketahui dalam agama Islam, bahwa din (agama Islam) meliputi ‘Aqidah dan Syari’at, ilmu dan amal. Keduanya merupakan kesatuan. Memisahkan di antara keduanya merupakan kesesatan yang nyata.

Makna Aqidah

Secara bahasa, ‘aqidah berasal dari kata al ‘aqdu. Artinya: mengikat, memutuskan, menguatkan, mengokohkan, keyakinan dan kepastian.[1] Adapun secara istilah, ‘aqidah memiliki makna umum dan khusus [2].

Makna ‘aqidah secara umum adalah, keyakinan kuat yang tidak ada keraguan bagi orang yang meyakininya, baik keyakinan itu haq maupun batik. Sedangkan ‘aqidah dengan makna khusus adalah, ‘aqidah Islam, yaitu: pokok-pokok agama dan hukum-hukum past, yang berupa keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, serta perkara lainnya yang diberitakan oleh Allah dalam al Quran dan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang sahih. Termasuk aqidah Islam, yaitu kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukumnya yang pasti. Semuanya itu wajib diyakini dengan tanpa keraguan.

Makna Syari’at

Secara bahasa, syari’at berasal dari kata asy syar’u. Yang memiliki arti: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan. Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.

Makna syari’at secara umum adalah, agama yang telah dibuat oleh Allah, mencakup ‘aqidah (keyakinan) dan hukum-hukumbnya. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala:

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Asy Syuura/42 :13)

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman Allah Ta’ala “Dialah yang telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh”, dia berkata: “(Maksudnya) yaitu agama semuanya (yakni semua bagian-bagiannya, Pen.)”.

Sedangkan makna syari’at secara khusus, yaitu peraturan yang dibuat oleh Allah yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al Maa’idah/5 :48)

Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan ‘aqidah. Karena ‘aqidah seluruh nabi semua sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya [4].

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at di sebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama ‘aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan ‘aqidah (keyakinan).

Hubungan ‘Aqidah dengan Syari’at

Istilah ‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana istilah syari’at. Jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu,..” (Asy Syuura/42 :13)

Dengan demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang di sebut dengan ‘aqidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” ( Al Hujuraat/49 : 15)

Juga firman-Nya:

“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Al A’raaf/7 : 2-4)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.

Footnote:

[1] Mu’jamul Wasith
[2] At Talazum Bainal ‘Aqidah wasy-Syari’ah, hlm 9, karya Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim al’Aql.
[3] ibid, hlm. 10-11
[4] Lihat dua riwayat ini di dalam Tafsir ath-Thabari, Juz 11, hlm. 134

Artikel ini diringkas dan dikutip dari majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H.2007 M, Halaman 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar