Tulisan kedip

Rabu, 12 Agustus 2009

Tuhan dalam Islam

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam[1][2].

Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).[3] Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.[4] Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda.[5][6] Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.[7] Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).[5][6]

Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.[8] Menurut al-Qur'an, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS al-An'am[6]:103)[2]

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur'an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”[8]

Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi (29:46).[9] Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh kalangan non-Muslim.

Konsep Tuhan

Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-Qur'an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur'an (Al-'Alaq [96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan "penuturan Allah tentang diri-Nya."[10]

Selain itu menurut Al-Qur'an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A'raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.

Tuhan mengirimkan utusan

Tuhan juga mengirimkan utusan-Nya saat kerusakan moral terjadi untuk mengembalikan hakekat tauhid dan menegakkan ajaran-Nya (Al-Anbiya [21]:25). Semua utusan diutus untuk tujuan yang sama, yaitu tauhid. Al-Qur'an menyebutkan perkataan nabi-nabi dahulu yang menyerukan tauhid yang sama, diantaranya nabi Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu'aib dalam ayat surah Al-A'raf secara berurutan: ayat 59, 65, 73, dan 85. Nabi Musa dan Isa dan nabi-nabi lain juga menerima wahyu tauhid yang sama. Musa menerima wahyu tauhid, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku, (Ta Ha [20]:13-14) dan begitu pula Isa. Isa menyampaikan kepada Bani Israel untuk menembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan-nya Isa juga Tuhan Bani Israel.(Al-Ma'idah [5]:72).[11]

Kemudian sebagai nabi penutup, Tuhan mengutus Muhammad sebagai nabi untuk alam semesta. Masyarakat Arab Jahiliyah saat itu, ketika Muhammad diutus, merupakan kaum yang mengenal Allah namun dalam konsep yang salah. Arab pra-Islam memang mengenal Allah sebagai Pencipta (Al-'Ankabut [29]:61-63) dan bersumpah atas nama Allah (Al-An'am [6]:106), namun beranggapan keliru atas Allah. Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin (As-Saffat [37]:158), memiliki anak-anak wanita (Al-Isra' [17]:40), dan bahwa manusia karena tidak mampu berdialog dengan Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya, menjadikan malaikat-malaikan dan berhala-berhala untuk disembah sebagai perantara mereka dengan Allah (Az-Zumar [39]:3).
Tuhan Maha Esa
Nama Allāh ditulis dalam kaligrafi Arab oleh seniman Ottoman, Hâfız Osman abad ke-17.

Keesaan Tuhan atau Tauḥīd adalah mempercayai dan mengimani dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (wāḥid). Al-Qur'an menegaskan keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.[12] Menurut al-Qur'an:[12]

"Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain." (al-An'am [6]:133)

Menurut Vincent J. Cornell, al-Qur'an juga memberikan citra monis Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada: "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadid [57]:3)"[12] Sebagian Muslim walau begitu, mengkritik intepretasi yang mengacu pada pandangan monis atas Tuhan sebagai pengkaburan antara Pencipta dan dicipta, dan ketidakcocokannya dengan monoteisme redikal Islam.[13]

Ketidakmampuan Tuhan mengimplikasikan ketidakmahakuasaan Tuhan dalam mengatur konsepsi universal sebagai keuniversalan moral yang logis dan sepantasnya daripada eksistensial dan kerusakan moral (seperti dalam politeisme). Dalam hal serupa, al-Qur'an menolak bentuk pemikiran ganda sebagai gagasan dualitas atas Tuhan dengan menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diturunkan dari perilaku Tuhan dan bahwa kejahatan menyebabkan tidak adanya daya untuk menciptakan. Tuhan dalam Islam sifatnya universal daripada tuhan lokal, kesukuan, atau paroki; zat mutlak yang mengajarkan nilai kebaikan dan melarang kejahatan. [14]

Tauhid merupakan pokok bahasan Muslim. [15] Menyamakan Tuhan dengan ciptaan adalah satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an. [14] Umat Muslim percaya bahwa keseluruhan ajaran Islam bersandar pada prinsip Tauhid, [16] yaitu percaya "Allah itu Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya." Bahkan tauhid merupakan kosep teoritis yang harus dilaksanakan karena merupakan syarat mutlak setiap Muslim.[10]

Sifat Tuhan

Al-Qur'an merujuk sifat Tuhan ada pada asma'ul husna (lihat QS. al-A'raf [7]:180, al-Isra' [17]:110, Ta Ha [20]:8, al-Hasyr [59]:24). Menurut Gerhard Böwering, "Nama-nama tersebut menurut tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi (al-ism al-aʿẓam), nama tertinggi Tuhan, Allāh. Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra' ayat 110, “Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma'ul husna (nama-nama yang terbaik),” dan juga Surah Al-Hasyr ayat 22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan."[17] "Nama-nama Tuhan yang paling baik" mencakup:

* Maha Pemurah
* Maha Penyayang
* Maha Pemberi
* Maha Pemelihara
* Tuhan Yang Mengaruniakan Keamanan
* Tuhan Yang Tidak tergantung siapa-siapa
* Tuhan Yang Kekal (yang tidak pernah mati)
* Maha Adil

Tuhan Maha Tahu

Al-Qur'an menjelaskan Tuhan Maha Tahu atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk hal pribadi dan perasaan, dan menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat sembunyi dari-Nya:

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." —Yunus [10]:61

Konsep Tuhan berdasar spekulasi

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Qur'an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.[10]

Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif diantaranya adalah Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.[10]

Hulul

Artikel utama untuk bagian ini adalah: hulul

Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.

Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.

Mansur al-Hallaj menggunakan ayat Al-Qur'an semisal surah Al-Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi, "...sujudlah wahai para malaikat kepada Adam...". Al-Hajjaj menjelaskan bahwa mengapa Allah memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hajjaj juga menyebutkan hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, "Sesungguh-Nya Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya." Dan juga menurutnya hulul pernah terjadi pada diri Isa, dimana Allah mengambil tempat pada dirinya.[10]

Ittihad

Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".

Berbeda dengan Hulul, jika dalam Hulul "Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia", maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.[10]

Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan pemampakan lahir Tuhan.[10]

Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[10]

Perbandingan antar agama

Beberapa sarjana barat menyatakan bahwa Muhammad juga menggunakan istilah Allah dalam berkomunikasi dengan pagan Arab dan Yahudi atau Nasrani untuk menegakkan dasar umum dalam memahami nama Tuhan, sebuah klaim Gerhard Böwering menyatakan keraguan. [17]

Konsep Tuhan dalam Islam vs tuhan dalam Arab pra-Islam

Ketika membandingkan politeisme Arab pra-Islam, Tuhan dalam Islam tidak memiliki teman dan sekutu maupun pertalian antara Tuhan dengan Jin. [17] Arab pagan pra-Islam percaya takdir yang kabur, kuat, dan tidak dapat ditawar-tawar melebihi apa yang manusia tidak dapat kendalikan. Paham ini diganti dengan gagasan Islam Tuhan Yang Maha Pemurah namun Maha Kuasa.[18]

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Yahudi

Menurut Francis Edwards Peters, "Al-Qur'an menuntut Muslim untuk beriman, dan sejarawan menyetujui bahwa Muhammad and pengikutnya menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan Yahudi [lihat Al-Qur'an Surah Al-'Ankabut[29]:46]. Allah Al-Qur'an adalah Tuhan Pencipta yang sama yang mengadakan perjanjian dengan Ibrahim". Peters menyatakan bahwa al-Qur'an menggambarkan Allah lebih kuat dan luas daripada Yahweh, dan sebagai Tuhan alam semesta, tidak seperti Yahweh yang hanya lebih dekat pada orang-orang Israel.[9] Menurut Encyclopedia Britannica (lihat juga bagian di bawah untuk perbandingan kasih Tuhan dalam Islam dan Kristen) [4]:

Tuhan, dikatakan dalam al-Qur'an, “mencintai yang berbuat baik,” dan dua bagian dalam al-Qur'an mengekspresikan sebuah kasih yang saling mengerti antara Tuhan dan manusia, namun Yudeo-Kristen mengajarkan “cintai Tuhan dengan segenap hatimu” tidak dirumuskan dalam Islam. Tekanan ini lebih pada kebebasan kehendak Tuhan, sehingga setiap orang harus berserah diri. Yang paling utama, “menyerahkan diri kepada Allah” (Islam) merupakan agama itu sendiri.

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Kristen

Islam dengan tegas menolak kepercayaan Kristen bahwa Tuhan itu tiga pribadi dalam satu hakekat (lihat Tritunggal). Dalam konsepsi Islam tentang Tuhan, tidak ada kesetaraan antara Tuhan dan ciptaan. Kehadiran Tuhan dipercaya ada dimanapun, dan tidak menjelma sebagai siapapun atau apapun.[18]

Kristen Barat merasa Islam sebagai agama kafir selama Perang Salib pertama dan kedua. Muhammad dipandang sebagai setan atau tuhan palsu yang disembah bersama Apollyon dan Termangant dalam trinitas yang tidak suci.[19][20] Pandangan tradisional Kristen adalah bahwa Tuhan Muhammad sama dengan Tuhannya Yesus. Ludovico Marracci (1734), penerima pengakuan dosa Paus Innosensius XI, menyatakan:[21]

Muhammad dan pengikutnya yang menganggap ortodoks, telah dan melanjutkan untuk memiliki gagasan Tuhan yang asli dan logis dan sifat-sifat-Nya (selalu mengecualikan dan menolak Trituggal), muncul sangat jelas dari Qur'an itu sendiri dan seluruh kepercayaan akan Tuhan Muhammad, sehingga akan membutuhkan banyak waktu untuk menyangkal yang beranggapan Tuhan Muhammad berbeda dengan Tuhan sejati.

Banyak pesan-pesan dalam Perjanjian Lama mengacu pada kasih Tuhan. Tema sentral dalam Perjanjian Baru adalah kasih Tuhan dalam perantaraan Yesus. Dalam Islam, kasih Tuhan muncul dalam seluruh tanda-tanda dan penciptaan Bumi dimana manusia dapat hidup dalam kehidupan yang layak.

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa;
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:21-22)

Pujian umat Muslim kepada Tuhan yang paling umum adalah 'Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang'. Dua lainnya dari "asma'ul husna" Tuhan 'Maha Kasih sayang' (wadud) dan 'Maha Pemberi' (wahhāb). William Montgomery Watt berpegang bahwa Kristen memiliki lebih banyak tekanan dalam aturan tingkah laku Tuhan sebagai penggembala yang pergi mencari domba-domba yang hilang dan menyelamatkannya. Di sisi lain, Islam menolak sebagian doa bagi siapapun yang telah kafir. Dalam Islam, Watt mengatakan, Tuhan menyediakan nikmat bagi setiap golongan untuk mencapai kehidupan kekal (contoh: kehidupan di Surga) dengan mengirim utusan atau nabi untuk mereka. Islam juga mengembangkan doktrin perantaraan Muhammad pada Hari Kiamat yang akan menerima mereka dengan baik, meskipun yang berbuat dosa akan diadili atas dosa-dosa mereka baik di bumi maupun di neraka.[22]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar