Tulisan kedip

Jumat, 21 Agustus 2009

MARHABAN YA SYAHROSSHIYAM

Tak lama lagi kita memasuki bulan suci Ramadlan. Umat Islam seantero jagad akan menyambutnya dengan suka cita. Karena bagi umat Islam Ramadan mempunyai kedudukan dan makna yang sangat penting yang membedakannya dengan bulan-bulan yang lain. Banyak peristiwa penting dalam sejarah Islam terjadi pada bulan ini.

Wahyu al Qur’an –sebagai kitab suci umat Islam– pertama kali turun pada bulan Ramadlan (Q.S. al Baqarah: 185). Lailatul Qadar yang kebaikannya melebihi seribu malam di luar lailatul qadar juga hanya terjadi di bulan Ramadlan (Q.S: al Qadar: 1-5). Umat Islam pertama kali memperoleh kemenangan dalam perang badar juga terjadi pada bulan Ramadlan. Bahkan menurut sejarah nasional Indonesia, bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah pun terjadi pada bulan suci Ramadlan.



Kita mengenal banyak label yang sering digunakan untuk menyebut bulan suci Ramadlan. Ramadlan sering disebut dengan Syahrul Ibadah (bulan ibadah) karena di bulan ini terhampar kesempatan beribadah yang luas dengan imbalan ganjaran yang lebih besar daripada bulan-bulan selain Ramadlan. Karenanya, semangat beribadah umat Islam di bulan ini cenderung mengalami eskalasi.

Bulan ini juga dikenal dengan Syahrul Jihad (bulan perjuangan). Dikatakan demikian karena di dalam bulan ini kita dihadapkan pada sebuah perjuangan yang sangat besar, yaitu perjuangan dalam mengendalikan diri dari hawa nafsu yang diperbolehkan, yaitu nafsu makan dan minum serta aktivitas seksual di siang hari. Karena itulah, Ramadlan juga dikenal dengan Syahrus Shiyam (bulan puasa).

Ibadah Puasa adalah ibadah universal. Jauh sebelum Islam datang, ritual puasa telah menjadi tradisi yang dilembagakan oleh umat-umat terdahulu meski dalam bentuk dan cara yang berbeda. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sejarah dan bukti teologis seperti dijelaskan dalam Q.S. al Baqarah: 256.

Kata “Ibadah” –dalam bahasa Arab- seakar dengan kata “Abdun” yang artinya hamba. Dengan demikian, ibadah merupakan sebuah penghambaan kepada yang MahaAgung. Tidaklah diciptakan Jin dan manusia kecuali agar mereka menghamba kepada penciptanya (Q.S. al Dzariyat: 56).

Dalam literatur keislaman, secara mendasar, kita mengenal ada dua bentuk ibadah; yaitu ibadah dalam arti vertikal (Ibadah Mahdlah) dan ibadah secara horisontal/sosial (Ibadah ghoiru Mahdlah).

Ibadah secara vertikal berarti penghambaan terhadap Tuhan secara langsung, seperti salat, puasa, dan haji. Sedangkan ibadah secara horisontal adalah penghambaan terhadap Tuhan melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang selaras dengan misi dan risalah ilahi. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa semua perbuatan baik (amal saleh) dapat dikategorikan sebagai sebuah ibadah kepada Allah.

Semua bentuk ibadah –baik yang bersifat vertikal maupun horisontal- sesungguhnya memuat pesan sosial. Ibadah-ibadah dalam arti vertikal seperti salat, puasa, dan haji juga mempunyai dimensi sosial apabila kita mau menelaah lebih jauh. Dalam hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa lima rukun Islam (Syahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan haji) itu sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan sosial. Gagal dalam menangkap pesan-pesan tersebut, maka kurang sempurna pula kita dalam melakukan ritual-ritual tersebut. Akibatnya, ritual-ritual yang kita kerjakan akan terjebak pada rutinitas formalitas-administratif saja.

Dari sini, menjadi jelas bahwa ibadah puasa mempunyai makna sosial selain sekedar menahan diri dari lapar dan dahaga. Dalam hal ini, Nabi pernah bersabda:

“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus.”

Hal itu terjadi karena mereka cenderung hanya berpuasa secara formalitas-administratif saja, sehingga mereka gagal menangkap ‘makna yang tersembunyi’ di balik ritual puasa tersebut. Predikat takwa yang merupakan tujuan akhir dari ibadah puasa sebenarnya bisa ditentukan dari sejauhmana kita dapat menangkap pesan-pesan tersebut.

Pesan Sosial Puasa

Setidaknya ada tiga pesan sosial dari ibadah puasa. Pertama, puasa memuat pesan lebih dari sekedar mengendalikan diri dari makan, minum, dan aktivitas seksual sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Lebih jauh, puasa merupakan sebuah media pengendalian diri dari hal-hal yang bisa menghalangi pintu menuju Tuhan. Dalam konteks demikian, puasa adalah jihad. Dan tantangan jihad yang paling besar, kata Nabi, adalah jihad melawan hawa nafsu atau jihad melawan kesenangan duniawi. Dengan demikian, puasa sesungguhnya bisa menjadi parameter yang efektif dalam menentukan berhasil tidaknya kita dalam berjihad.

Kedua, puasa merupakan sebuah latihan pengendalian dari perbuatan tamak dan rakus. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut. Banyak kasus kejahatan dan penyelewengan seperti korupsi muncul karena sifat tamak dan rakus demi perut. Orang yang berpuasa dituntut untuk mengambil pelajaran ini sehingga kita bisa menjadi pribadi yang tidak tamak dan rakus karena perut. Seandainya, pelajaran ini bisa berhasil ditangkap dan dilaksanakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini, maka persoalan korupsi tidak akan menjadi masalah yang begitu akut di Indonesia.

Ketiga, puasa dapat melatih dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial antar sesama. Dengan berpuasa kita menjadi tahu bagaimana pengalaman hidup orang-orang miskin yang senantiasa hidup dalam ketiadaan dan keterbatasan makanan. Oleh karena itu, setelah berpuasa sebulan penuh kita diwajibkan membayar zakat untuk selanjutnya diberikan kepada orang-orang yang berhak dan membutuhkan. Ini merupakan pelajaran yang sangat mulia sekali dalam rangka mewujudkan social justice dan memperkecil angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Itulah beberapa pesan yang bisa kita tangkap di balik ritual tahunan puasa Ramadlan. Kalau saja, pesan-pesan sosial tersebut berhasil dipahami dan diimplementasikan dengan baik, maka tentu ibadah puasa yang kita lakukan saat ini akan menemukan elan vitalnya sehingga ibadah puasa tidak dilakukan sekedar memenuhi kewajiban yang cenderung formalitas-administratif saja, melainkan ibadah puasa mempunyai arti penting dalam upaya transformasi diri dan juga masyarakat, sehingga ibadah puasa tidak terjebak dalam ibadah yang egoistik.

Itulah hakikat takwa yang merupakan tujuan akhir puasa. Dalam konteks ini, predikat takwa diberikan kepada mereka yang sanggup menyingkap pesan sosial puasa seperti yang telah dijelaskan di atas dan mampu mengimplementasikan pesan tersebut dalam kehidupan sosial. Marhaban Ya Ramadlan. Selamat berpuasa bagi yang menunaikannya. (abdullah faqih)
Tags: pesan puasa
Prev: Pendidikan Multikulturalisme dan Keadaban Demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar