Tulisan kedip

Rabu, 12 Agustus 2009

Jangan Melangkah Setengah Hati

Namanya Abu Qais. Berasal dari Bani Waqif, sebuah kampung di Madinah. Ia bahkan kepala suku itu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Qais, juga Bani Waqif, kecuali justru ialah satunya-satunya kabilah yang menolak Islam, ketika Mus’ab bin Umair mengubah Yatsrib menjadi kampung Muslim yang terang benderang. Ketika kemudian tidak ada rumah pun kecuali di dalamnya ada muslim atau muslimah.

Bila Abu Qais tak kunjung menerima Islam, itu bukan karena ia tak mengerti. Abu Qais tidak saja kepala suku yang pintar. Ia juga penyair ulung, tokoh yang disegani, dan penganut ‘agama’ hanifiyah, sebuah keyakinan kepada ‘keaslian kemanusiaan’ yang lurus. Keyakinan itu pula bahkan, yang menjadikannya menolak menjadi Yahudi atau Nasrani. Tetapi itu pula yang membuatnya tak segera mau menerima Islam. Di dalam dirinya ada bimbang, juga kehendak setengah hati untuk menerima Islam. Baginya, menjadi orang hanifiyyun dirasa sudah cukup. Ia lantas mengumandangkan beberapa bait syair:

manusia sangat perlu
pada banyak hat yang
kesulitan bisa luluh di sekitarnya
manusia sangat perlu
pada sesuatu yang
bila tersesat is menunjuki ke jalan yang baik
kalaulah tidak karena Tuhan kita, kita telah menjadi Yahudi
kalaulah tidak karena Tuhan kita, kita telah menjadi Nasrani
bersama para rahib di gunung-gunung yang tinggi
tetapi kita dicipta ketika dicipta,
agama kita adalah kemanusiaan yang lurus



Syair ini justru menggambarkan betapa ia tidak bisa begitu saja menerima Islam. Ia merasa cukup dengan apa yang selama ini diyakini. Menjadi orang ‘baik-baik saja’. Sudah begitu, dedengkot kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul terus memengaruhinya untuk tidak menerima Islam. Hingga keraguan semakin memenuhi isi hatinya

Hari-hari terus berlalu. Bahkan ketika kota Makkah ditaklukkan Rasulullah, Abu Qais masih setengah hati untuk mau menerima Islam. Sampai akhirnya, ia berjanji akan masuk Islam tahun depan. Tetapi apa lacur? Satu bulan kemudian, ia meninggal, menemui ajal yang tak pernah ia sangka kapan datangnya.

Ini kisah tentang keputusan setengah hati yang membawa bencana. Bagaimana tidak? Adakah bencana yang lebih bencana, dari mati tidak sebagai muslim? Adakah bencana yang lebih mengerikan, dari menolak cahaya Islam yang Sudah ada di pelupuk mata? Adakah yang lebih bencana, dari ragu menerima ajakan Rasul, padahal orang mulia itu hidup satu jaman, satu masa, dan satu tanah air?

Sebuah keputusan adalah nasib. Ia mengambil perannya pada wilayah ikhtiar kemanusiaan kita. Kita menetapkan, dan karenanya kita meniti kemantapan. Kita berbuat, dan karenanya kita akan menuai hasil. Kita menanam, dan karenanya kita akan memetik.

Pada sebagian besar keputusan kita, ada implikasi yang sangat serius. Implikasi bahagia atau sengsara, pahit atau manis, bahkan, surga atau neraka. Itulah implikasi nasib kita. Terlebih keputusan yang berhubungan dengan puncak segala urusan: iman kepada kebenaran Islam. Sesuatu yang akan menjadi bekal utama seseorang untuk menghadap Allah kelak di hari akhirat.

Karenanya, hidup tidak memberi ruang yang istimewa bagi segala keputusan yang setengah hati. Tidak saja karena ia bisa mengundang bencana, tetapi waktu yang berlalu tak mungkin diputar ke depan. Sebuah keputusan masa lalu yang kini menjadi hitam-putih nasib kita, tak akan bisa memutar ulang versi revisinya.

Juga karena waktu berjalan begitu cepat, ia tak memberi tempat untuk segala keputusan setengah hati kita. Keputusan setengah hati adalah perjalanan yang terhenti karena tertinggal kereta. Keputusan setengah hati adalah bangun dan menguap saat matahari telah meninggi. Terlampau banyak yang telah lewat dan berlalu tanpa kita sadari. Seperti Abu Qais yang begitu saja melewatkan masa-masa terbaik dari seluruh jaman yang ada di bumi. Ia mencoba menunda keislamannya satu tahun mendatang. Ia masih ragu. Sebenarnya, kapasitas intelektualnya sangat memadai untuk mencerna, memahami dan mengerti bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah benar. Tetapi ia hanya melengkapi ’semacam tradisi’ orang-orang pintar, yang selalu setengah hati untuk memutuskan mengambil jalan kebaikan. Justru karena bermain dengan argumentasi ilmiah, atau karena pengaruh lingkungan, pengaruh orang-orang tertentu, atau dengan alasan menjaga gengsi, semuanya menjadikan keputusan untuk meniti jalan yang baik hanya kehendak setengah hati.

Romantika dengan jati diri masa lalu juga memberi andil bagi sebuah keputusan yang setengah hati. Setiap orang punya kebiasaan masa lalunya, yang mungkin sudah mendarah dan mendaging dalam dirinya. Dari soal kebiasaan, etika, bahkan keyakinan, yang bertahun-tahun dijalani, hingga segala sesuatunya telah menginternal dalam cita rasa dan perilaku dirinya.

Seperti Abu Qais yang punya masa lalu sebagai orang hanifiyyun, orang yang tulus dengan ‘madzhab kemanusiaan’. Sebuah pandangan yang sebenarnya terwarnai oleh sisa-sisa peninggalan agama nabi Ibrahim. Tidak mudah baginya untuk mengubah jati dirinya. Padahal menjadi baik secara kemanusiaan saja belum cukup. Harus ada afiliasi ideologis. Harus ada ‘merek agama’ pada segala tindak tanduk setiap orang.

Sebuah kesempatan untuk kita mengubah diri, kadang tidak datang dua kali. Karenanya keputusan setengah hati pada momentum yang sangat istimewa -seperti dalam contoh Abu Qais- itu adalah perjudian dengan kerugian yang sudah pasti. Adalah mengadu nasib dengan kekalahan yang sudah pasti. Tidak saja karena kesempatan tidak selalu datang berulang, juga karena keputusan itu berpacu dengan kematian yang bisa datang kapan saja. Seperti satu tahun menunda menjadi Islam, yang diputuskan Abu Qais, mungkin dianggapnya tidak lama. Tetapi itu sangat terlalu lama untuk sebuah kematian. Karena ternyata, kematian hanya memberi jeda waktu satu bulan, sebuah jangka yang tak pernah ia mengerti.

Apa yang ada di sekitar kita harus menjadi bahan yang memadai untuk membantu kita memutuskan segala kepentingan hidup kita. Terlebih bila dalam urusan agama. Orang yang yakin, tetapi salah, jauh lebih bisa bersikap ketimbang orang-orang yang setengah hati. Sebab orang yang yakin tetapi salah, akan secepatnya belajar, mengevaluasi diri, lalu mencari jalan yang benar, lalu ia jalani yang lebih baik itu juga dengan keyakinan yang kuat. Sementara orang-orang yang hidup dengan setengah hati, hanya akan banyak membuang waktu. Berlari dari kebimbangan yang satu ke kebimbangan yang lain.

Sebuah keputusan adalah nasib. Tidak saja dalam pengertian ideologi, tapi juga untuk banyak urusan hidup duniawi. Setiap kita punya titian hidup yang berbeda. Punya momentum penting yang berbeda. Punya kesempatan emas yang berbeda. Tetapi segalanya bertumpu pada satu hal: keputusan sepenuh hati untuk bertindak, dengan keyakinan yang benar, pada waktu yang tepat, dan dengan perhitungan yang cermat. Ini memang tidak mudah. Tetapi, untuk kepentingan apapun -terlebih untuk meniti jalan hidup keislaman- tidak ada waktu dan tempat untuk sebuah keputusan yang setengah hati. Kita harus mencoba. Karena tak ada pilihan lagi selain itu. Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar